Friday, September 23, 2011

Mendalami Makna Ukhuwah

Kaum Muslimin Jamaah Sholat Jumat yang Berbahagia 
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang senantiasa melimpahkan karunia-Nya, nikmat yang tak pernah berhenti mengalir seiring dengan desah nafas kita. Keimanan yang menyirami sanubari, rasa ukhuwah dan persaudaraan yang  menyemai jiwa. Takwa yang berada di hati hendaklah terwujud dalam amal nyata.
Dari mimbar jumat ini khotib mengajak, marilah  kita senantiasa berupaya meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Takwa yang bermakna luas dan mendalam.
Takwa dalam arti menjalankan segala perintah Allah dengan semampu kita, meninggalkan larangan Allah tanpa memilih-milih mana yang sesuai dan tidak cocok dengan nafsu kita. Wujud ketakwaan yang akan melahir kehidupan yang islami, harmonis penuh keakraban dan saling bahu membahu, peduli dan kasih sayang kepada sesama saudara seiman.
 Allah SWT berfirman: 
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ [آل عمران: 102] .

“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan beragama islam.” (Ali-Imran 102)
Kaum muslimin jamaah sholat jumat yang dimuliakan Allah
Dalam kehidupan menjalani hari-hari bersama tuntunan dan ajaran islam, sisi kehidupan manusia memang tidak pernah lepas dari tuntunan ajaran islam yang memperhatikan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak ada yang lepas dari sentuhan islam. Sejarah Rosulullah dan sahabat telah mencerminkan kehidupan itu. Itulah sebuah persaudaran indah yang tiada duanya di muka bumi ini. Kisah nyata yang begitu membuat jiwa bergetar akan makna ukhuwah islamiyah yang sesungguhnya. Itulah kisah Muhajirin dan Anshor.
14 abad yang lalu, di saat dakwah islam muncul dan mulai bersemi di sumbernya kota Mekah Al-Mukarromah, hari demi hari dakwah Rosulullah menuai satu demi satu pengikut seiring juga dengan menuai banyak cercaan, penyiksaan dan ancaman pembunuhan. Sehingga mengharuskan mereka untuk meninggal kota Mekah tanpa bekal. Itulah syarat yang diajukan oleh orang-orang Qurays ketika itu: ”Silahkan tinggalkan Mekah, namun jangan pernah membawa secuil harta bendamu”. Iman adalah di atas segalanya, tak sebanding dengan sebanyak apapun kekayaan yang mereka tinggalkan. Itulah pilihan tepat dari generasi awal dakwah islam. Resiko kesulitan di dalam perjalanan hijrah adalah hal yang mesti mereka hadapi. Sehingga sampailah mereka menuju negeri Hijrah ’Yastrib’ sebutan nama kota Madinah Al-Munawwaroh ketika itu.
Wajah-wajah penduduk Anshor yang penuh kerinduan dan senyuman-senyuman mengembang tatkala terlihat debu-debu berterbangan dari kejauhan pertanda saudara-saudara mereka seiman akan segera tiba. Mereka akan bertemu dengan saudara-saudara mereka walau mereka sebelumnya tak pernah saling kenal, kota mekah yang berkarakter kota bisnis dan perdagangan berbeda jauh dengan kota madinah yang terkenal dengan kesuburan pertanian dan perkebunan kurmanya, membentuk karakter masyaratakat pun berbeda pula, kepribadian yang berbeda, bahasa pun memiliki lahjah-lahjah atau pengucapan yang berbeda walau sama-sama menggunakan bahasa arab. Namun mereka melupakan semua itu. ”Kalian adalah saudara-saudara kami, kami adalah saudara-saudara kalian”, itulah semboyan-semboyan mereka.
Rasa kebersamaan atas dasar iman dan kesatuan perjuang menjadikan orang-orang yang bergabung di dalamnya betul-betul saling mencintai karena Allah, rela berkorban, tanpa pamrih, saling menopang dan melakukan apa saja untuk menggapai redho Allah, tidak untuk yang lain. Karena ada sesuatu yang ingin mereka persembahkan kepada Allah secara bersama-sama. Berupa amal sholih, yang diinginkan hanyalah ganjaran di akherat kelak berupa surga-Nya semata.
وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى ( الأعلى :17 )
”Dan sesungguhnya ganjaran di akherat adalah lebih baik dan lebih kekal”. (Al-a'la: 17)
وَاصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ (115)
"Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan ganjaran bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. Hud: 115)
Kaum muslimin sidang sholat jumat hafizhokumullah
Bila iman telah tertanam, orang lain yang jauh pun bisa menjadi saudara dekat. Ukhuwah, persaudaraan yang dibangun atas dasar iman, memang tak kenal batas. Apalagi ras, suku, bahkan negara. Betapa banyak orang yang tak punya hubungan darah dan kerabat. Tetapi menjadi saudara lantaran iman yang menyatukan hati mereka. Iman memang bisa mengubah segalanya, bermula dari hati, segala akan bisa berubah. Begitulah perubahan pribadi yang dialamai sahabat rosulullah saw.
Kisah yang tak pernah terlupakan.., tatkalah satu demi satu sahabat muhajirin dipersaudarakan dengan kaum anshor: Ja’far bin Abi Tholib dipersaudarakan dengan Zaid bin Haritsah, Abu Bakar ash-Shiddiq dengan Khorijah bin Zuhair, Umar bin Khottob dengan ’Utbah bin Malik dan Abdurrahman bin Auf dengan Saad bin Robi’. Satu demi satu pula kaum muhajirin menempati rumah sahabat anshor, perasaan bahagia dan bangga tanpa rasa beban sedikitpun menghiasi wajah-wajah masyarakat anshor. Menyediakan tempat tinggal untuk saudara-saudara mereka, menyediakan makan dan minum buat saudara mereka walaupun seadanya, walau sebenarnya mereka sendiri membutuhkan. Bukan karena unsur apa-apa. Namun hanya karena iman dan rasa persaudaraan yang mendalam mengharapkan keridoaan Allah semata. Dengan sikap mereka ini maka Allah memuji mereka di dalam Al-Quran surat Al-Hasyr ayat 9.
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّنَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (9)
”Dan orang orang yang menempati kota madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan oleh mereka (orang muhajirin). Dan mereka mengutamakan orang-orang muhajirin di atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Sebuah pujian yang layak buat mereka. Alangkah indahnya sebuah pujian yang datang langsung dari Sang Pencipta alam semesta. Ini dikarenakan sebuah sifat yang mulia yaitu ”al-itsar” atau mengutamakan kepentingan orang lain diatas keperluan diri sendiri.
Kaum Muslimin Jamaah Sholat jum’at Hafizhokumullah
Abu Hurairoh meriwayatkannya dengan menyebutkan :
عن أبي هريرة رضي اللّه عنه قال: قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم: "إن في الجنة لعمداً من ياقوت، عليها غرف من زبرجد، لها أبواب مفتحة تضيء كمايضيء الكوكب الدري. قلنا: يا رسول اللّه، من يسكنها؟ قال: المتحابون في اللّه عز وجل والمتجالسون في اللّه- عز وجل- والمتلاقون في اللّه- عز وجل". رواهالبزار في مسنده
”Sesungguhnya di dalam surga ada tiang dari permata yakut, di atasnya ada kamar-kamar indah, terdapat pintu yang terbuka dan bisersinar seperti bersinarnya bintang-bintang. Kami bertnya: "Ya Rosulullah, siapa yang tinggal di dalamnya? Rosulullah menjawab: "Mereka orang-orwang yang saling mencintai karena Allah, saling duduk karena Allah, saling bertemu karena Allah. (HR. Al-Bazzar)
Di dalam hadist Qudsi Allah swt berfirman :
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَجَبَتْ مَحَبَّتِى لِلْمُتَحَابِّينَ فِىَّ وَالْمُتَجَالِسِينَ فِىَّ وَالْمُتَزَاوِرِينَ فِىَّ وَالْمُتَبَاذِلِينَ فِىَّ
Pasti mendapatkan cinta-Ku orang-orang yang saling berkorban karena-Ku, orang-orang yang saling mencintai karena Aku, orang-orang yang saling berkorban karena Aku, dan orang-orang yang saling membela karena-Ku.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Hakim, ia men-shohihkannya)
Imam Muslim meriwayatkan dalam shohihnya sebuah Hadist Qudsi :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلاَلِى الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِى ظِلِّى يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّى ».
Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman pada hari kiamat : “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena kemuliaan-Ku. Hari ini Aku menaungi mereka di dalam naungan-Ku pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.”
Kaum muslimin jamaah sholat jum’at yang dimuliakan Allah
Itulah ganjaran yang dijanjikan buat mereka yang saling mencintai karena Allah, saling membantu hanya karena Allah, saling bersaudara karena Allah.
Suatu hari seorang sahabat rosulullah Abu Tholhah dan istrinya belum sedikitpun mencicipi makanan. Rasa lapar mendera perut mereka. Siang itu Abu Tholhah memang tidak mendapatkan cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Seperti hari biasanya, sudah sangat sering hal itu terjadi. Ketika senja tiba Rosulullah kedatangan seorang tamu. Rosulullah menanyakan kepada istrinya Aisyah, ”Apakah kita mempunyai sedikit makanan untuk menjamu tamu kita”? Aisyah menjawab : ”Kita tidak punya apa-apa wahai Rasulullah”. Lalu Rosulullah menanyakan kepada istri-istrinya yang lain. Namun jawaban mereka seperti halnya juga jawaban Aisyah ra. Lalu Rosulullah bertanya kepada para sahabatnya: ”Siapakah yang bersedia menjamu tamuku pada malam hari ini?”
Tanpa menunggu-nunggu ada di antara para sahabat yang mengangkat tangan mengatakan kesediaan mereka. Seorang sahabat mengatakan: ”Saya Wahai Rosulullah”. Ia Abu tholhah ra. Lalu setelah sholat isya Abu Tholhah pulang bersama tamunya. Ketika tiba di rumahnya Abu Tholhah meminta istrinya untuk menyiapkan makan malam. Dengan sedih istrinya menjawab : ”Kita tidak punya apa-apa wahai suamiku kecuali sedikit makanan untuk anak kita”. Setelah Abu tholhah berpikir sejenak ia berkata kepada istrinya: ”Tidurkan anak kita, lalu siapkan makan malam buat tamu kita, ketika akan makan, lalu padamkanlah lampu”. Ketika tamu Abu Tholhah akan makan, lampu dipadamkan lalu Abu Tholhah mengecap-ngecapkan mulutnya seakan ikut makan bersama tamunya. Setelah makan lalu Abu Tholhah mengantarkan tamunya untuk beristirahat.
Begitu shubuh tiba mereka sholat shubuh berjamaah di masjid Nabawi, ketika melihat Abu tholhah Rosulullah tersenyum lalu berkata: ”Wahai Abu Tholhah Sesungguhnya Allah amat kagum melihat apa yang telah engkau perbuat tadi malam”.
Sebuah perbandingan dan wujud keimanan seorang kepada Allah dan keimanannya kepada hari akherat adalah tatkala ia mampu memberikan pelayanan yang terbaik dan menghormati tamunya. Itulah sebuah timbangan yang Rosulullah sampaikan, di dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim. Dari Abu Hurairoh ra Rosulullah bersabda: ”
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya.”
Dalam hadist yang lain Abu Hurairoh ra juga meriwayatkan bahwa Rosulullah saw bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَىمُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ »
“Barang siapa yang meringankan satu penderitaan dari seorang mukmin di dunia Allah akan meringankan beban penderitaannya di akherat. Siapa yang memudahkan kesusahan orang di dunia, Allah akan mudahkan kususahannya di dunia dan akherat. Siapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, jika ia menolong saudaranya. (HR. Muslim)
Itulah keindahan islam, keindahan islam akan tampak jika kaum musliminnya benar-benar melaksanakan tuntunan agamanya. Moment yang saat ini kita rasakan, yang kita pada saat bersamaan adalah pelakunya. merupakaan kesempatan emas untuk menuai janji-janji Allah tersebut. Allah telah pilihkan kampung halaman kita menjadi tempat berkumpul tamu-tamu mulia kita, keberakahan mengalir kita rasakan bersama kehadiran saudara-saudara kita tercinta. Masjid kita menjadi semakin semarak, keakraban terjalin, rasa saling menghargai dan memuliakan menghiasi rutinitas hari-hari kita.
Allah swt berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى ، وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

"Tolong menolonglah dalam dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”
Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan kasih sayang-Nya, melimpakan keberkahan kepada kita semua. Mempertautkan hati-hati kita sehingga menjadi hamba-hamba-Nya yang bersaudara. Setelah itu kita cuma berharap kepada Allah agar menguatkan ikatan hati ini untuk saling bekerjasama dalam kebaikan dan ketaatan. Mengumpulkan jiwa-jiwa kita menjadi jiwa-jiwa yang lembut penuh kecintaan dan kasih sayang. Sehingga mendapatkan surga yang Allah janjikan di akherat untuk mereka yang saling mencintai karena Allah, tidak ada keindahan yang lebih kita inginkan dari kebersamaan dan berkumpul di surga Allah di akherat kelak. Amiin ya rabbal ’alamin..

Mensucikan Jiwa dengan Sholat yang Khusyu

Kaum muslimin jamaah sholat jumat yang dimuliakan Allah
Marilah kita senantisa berupaya sekuat tenaga untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Takwa dalam makna yang luas, dengan berusaha  menjalankan apa yang telah dituntunkan agama dan senantiasa meninggalkan apa yang menjadi larangan-larangan Allah. Berupaya selalu meningkatkan kualitas keimanan dengan meningkatkan kualitas ibadah yang ada, serta berupaya pula menjalankan ibadah-ibadah sunnah yang dicontohkan baginda Rosulullah saw.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِب  [الطلاق: 2، 3]
”Barang siapa  yang bertakwa kepada Allah, Allah akan membuka jalan keluar bagi segala urusannya. Dan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tiada ia sangkah.” ( Al-Tholaq : 2-3 )
Rosulullah saw bersabda dalam sebuah hadist Qudsi :
 وَمَنْ تَقَرَّبَ مِنِّى شِبْرًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ ذِرَاعًا وَمَنْ تَقَرَّبَ مِنِّى ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَمَنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

”Barang siapa yang mendekat kepadaKu (kata Allah) sejengkal aku akan mendekat kepadanya sehasta, barang siapa yang mendekat kepadaKu sehasta aku akan mendekat kepadanya sedepah. Barang yang datang kepada-Ku dengan berjalan aku akan datang kepadanya dengan berlari, barang siapa menemuiku dengan dengan .” (HR. Bukhori-Muslim)
Ma’asyirol Muslimin Hafizhokumullah.
Di tengah aktivitas kita sehari-hari yang sibuk dengan urusan keduniaan, di selah-selah itu juga kita isi dengan ibadah rutin berupa sholat lima waktu. Namun kadang ibadah itu hanya menjadi rutinitas wajib yang kita lakukan. Padahal sholat hendaklah menjadi yang utama, sedangkan rutinitas sehari-hari adalah tambahan belaka. Tujuan sholat yang kita lakukan adalah agar jiwa kita selalu bersih dan suci dari pengaruh-pengaruh atas rutinitas mengarah kepada hal negatif dan keji. Para Rosul ’alaihimusholatu wassalaam diutus kepada umat-umat manusia dari masa ke masa adalah untuk mengingatkan umat manusia kepada ayat-ayat Allah, mengajarkan hidayah-Nya dan mensucikan jiwa dengan ajaran-Nya, di dalam doa Nabi Ibrahim untuk anak cucunya surat Al-Baqoroh: 129
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
”Wahai Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rosul dari kalangan mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan himah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,” (QS. Al-Baqoroh: 129)
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
”Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syams: 9-10)
Penyucian hati dan jiwa hanya bisa dicapai melalui berbagai macam ibadah tertentu apabila dilaksanakan secara sempurna dan memadai. Pada saat itulah terwujud dalam hati sejumlah makna yang menjadikan jiwa tersucikan dan memiliki sejumlah dampak dan pengaruh pada seluruh anggota badan seperti lisan, mata, telinga dan lainnya. Diantara pengaruh ibadah tersebut adalah tertanamkan pemahaman tauhid yang benar, sifat ikhlas, sabar, syukur dan jujur kepada Allah dan cinta kepada-Nya, serta terhindarkan dari hal yang bertentangan dengan aturan Allah SWT. Dengan demikian jiwa menjadi tersucikan lalu hasil-hasilnya nampak pada terkendalinya anggota badan sesuai dengan perintah Allah dalam berhubungan dengan keluarga, tetangga dan masyarakat.
Kaum Muslimin sidang sholat jumat yang berbahagia.
Sarana terbesar dalam penyucian diri adalah sholat, dan pada waktu yang bersamaan sholat merupakan bukti dan ukuran dalam penyucian jiwa. Sholat merupakan sarana dalam berubudiyah kepada Allah, mewujudkan tauhid yang ikhlas dan syukur kepada Allah. Sholat adalah dzikir, gerakan berdiri, ruku, duduk dan sujud. Ia menegakkan ibadah dalam berbagai bentuk utama bagi kondisi fisik. Menegakkan sholat dapat memusnakan bibit-bibit kesombongan dan pembangkangan kepada Allah SWT, di samping merupakan pengakuan terhadap hak pengaturan sesungguhnya oleh zat yang maha kuasa. Menegakkan sholat secara sempurna juga akan dapat memusnakan bibit–bibit ‘ujub, bangga diri dan ghurur bahkan semua bentuk kemungkaran dan sifat-sifat yang keji. Allah berfirman:
وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ (45)
”Sesungguhnya sholat mencegah dari perbuatan kejian dan mungkar”. (QS. Al-Ankabut: 45)
Sholat akan berfungsi sedemikian rupa apabila ditegakkan dengan semua rukun, sunnah dan adab zhohir maupun bathin yang harus direalisasikan oleh orang yang sholat. Diantara adab zhohir ialah menunaikannya secara sempurna dengan anggota badan, dan diantara adab bathin ialah khusyu’ dalam melaksanakanya. Khusyu’ ialah yang menjadikan sholat memiliki peran yang lebih besar dalam merealisasikan nilai-nilai dan sifat-sifat yang mulia.
Allah berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2)
”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang–orang yang khusyu’ dalam sholatnya “(QS. Al-Mukminun: 1-2).
Pentingnya kedudukan khusyu’ maka ketidakberadaannya berarti rusaknya hati. Baik dan rusaknya hati tergantung kepada ada tidaknya khusyu’ ini. Rosulullah saw bersabda :
إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ، أَلا وَهِيَ الْقَلْبُ
”Sesungguhnya dalam jasad ada suatu gumpalan; bila gumpalan ini baik maka baik pula seluruh jasad, dan apabila rusak maka rusak pula seluru jasad. Ketahuilah bahwa gumpalan itu adalah hati.” (Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim)
Seorang ulama yang banyak mengorbankan hidupnya untuk berdakwah di jalan Allah, Syeikh Said Hawwa suatu ketika menyampaikan: ”Sesungguhnya khusyu’ merupakan manifestasi tertinggi dari sehatnya hati, jika khusyu’ telah sirna maka berarti hati telah rusak. Bila khusyu’ tidak ada berarti hati telah didominasi berbagai penyakit yang berbahaya dan keadaan yang buruk. Bila hati telah didominasi berbagai penyakit maka telah kehilangan kecenderungan kepada akhirat. Bila hati telah sampai kepada keadaan ini maka tidak ada lagi kebaikan bagi kaum muslimim. ”
Kaum Muslimin jamaah sholat jumat yang dimuliakan Allah
Sesungguhnya khusyu' berkaitan dengan pensucian hati dari berbagai penyakit dan upaya merealisasikan kesehatannya. Masalah ini merupakan tema yg sangat luas sehingga para ulama memulainya dengan mengajarkan zikir dan hikmah kepada orang yang berjalan menuju Allah sehingga hatinya hidup. Bila hatinya telah hidup berarti mereka telah membersihkannya dari berbagai sifat yangg tercelah dan menunjukkannya kepada sipat-sipat yang terpuji. Disinilah perlunya pembiasaan hati untuk khusyuk melalui kehadiran bersama Allah dan merenungkan berbagai nilai kehidupan. Khusyuk dalam sholat merupakan ukuran kekhusyukan hati, kekhusyukan seseorang dalam sholat menjadi tanda kekhusyukan hati seseorang.
Kaum Muslimin Hafizhokumullah
Allah berfirman :
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي (14)
”Dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku” (QS. Thoha: 14)
Lahiriyah perintah adalah wajib sedangkan lalai adalah lawan ingat. Siapa yang lalai dalam semua sholatnya maka bagaimana mungkin dia bisa mendirikan sholat untuk mengingat Allah SWT. Dalam sebuah hadist Rosulullah Saw bersabda: ”Sesungguhnya sholat itu ketetapan hati dan ketundukan diri”.
Selain sholat terdiri dari zikir, bacaan, rukuk, sujud, berdiri dan duduk, ia pun merupakan dialog dan munajat pada Allah. Bagian ini adalah batin, karena betapa mudahnya bagi orang yang lalai untuk mengerak-gerakkan lisannya, ia tidak menjadi ucapan bila tidak mengekpresikan apa yang di dalam hati, dan ia tidak menjadi ekpresi jika tidak disertai dengan kehadiran hati.
Apa artinya permohonan dalam firman Allah: اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ”Tunjukilah kami kejalan yang lurus”. Jika hati tetap lalai? Jika tidak dimaksudkan kerendahan hati dan doa, betapa mudahnya diucapkan lisan dengan hati yg lalai, terutama bila telah menjadi kebiasaan.
Kehadiran hati adalah ruh sholat. Batas minimal keberadaan ruh ini ialah kehadiran hati pada saat takbiratul ihram. Bila kurang dari batas minimal ini berarti kesiaan dan kelalaian. Semakin bertambah kehadiran hati semakin bertambah pula ruh tersebut dalam bagian-bagian sholat.
Kaum muslimin jamaah sholat jumat yang dimuliakan Allah.
Imam Ghozali Rahimahullah seperti yang disebutkan oleh Syeikh Said Hawa dalam kitab Al-Mustakhlash Fii Tazkiyatil Anfus merangkum makna-makna untuk menciptakan kekhusyukan ini dalam enam hal, yaitu: kehadiran hati, tafahhum, ta’zhim, haibah, rojaa’, dan haya’.
Pertama : Kehadiran hati, yang dimaksud menghadirkan hati adalah mengosongkan hati dari hal-hal yang tidak boleh mencampuri dan mengajaknya berbicara, sehingga pengetahuan tentang perbuatan senantiasa menyertainya dan pikirannya tidak berkeliaran kepada selainnya. Selagi pikiran tidak terpalingkan dari apa yang ditekuninya sedangkan hati masih tetap mengingat apa yang tengah dihadapainya dan tidak ada kelalaian dalamnya maka berarti telah tercapai kehadiran hati.
Kedua : Tafahhum atau kefahaman terhadap makna pembicaraan, merupakan sesuatu di luar kehadiran hati. Bisa jadi hati hadir bersama lafadz atau bisa juga tidak. Peliputan hati terhadap pengetahuan tentang makna lafadz itulah yang dimaksudkan dengan kefahaman. Betapa banyak makna-makna yang halus yang difahami oleh orang yang tengah menunaikan sholat padahal tidak pernah terlintas di dalam hatinya sebelum itu?. Dari sinilah kemudian sholat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, karena ia memahamkan banyak hal yang pada gilirannya dapat mencegah perbuatan maksiat.
Sedangkan yang ketiga adalah Ta’zhim atau rasa hormat juga merupakan perkara di luar kehadiaran hati dan kepahaman, sebab bisa jadi seseorang berbicara dengan budaknya dengan hati yang penuh konsentrasi dan faham akan makna perkataanya tetapi tidak menaruh hormat kepadanya. Dengan demikian ta’zhim merupakan tambahan bagi kehadiran hati dan kefahaman.
Keempat adalah Haibah, ia merupakan rasa takut yang bersumber dari rasa hormat merupakan tambahan bagi ta’zhim, bahkan ia adalah ungkapan tentang rasa takut yang bersumber dari ta’zim karena orang yang tidak takut tidak bisa disebut ha’ib, rasa takut dari hewan berbisa seperti ular dan kalajengking atau keburukan perangai seseorang dan sejenisnya termasuk sebab-sebab yang rendah tidak bisa disebut rasa takut yang bersumber dari rasa hormat, sedangkan rasa takut dari orang yang dihormati disebut rasa takut yang bersumber dari rasa hormat
Yang kelima adalah Roja’ atau rasa harap, maka tidak diragukan lagi merupakan tambahan lain untuk menjadi khusyu'. Betapa banyak orang yang menghormati seorang pejabat atau penguasa tetapi tidak diharapkan rasa balasannya. Sedangkan seorang hamba dengan sholatnya mengharapkan ganjaran Allah sebagaimana ia takut hukuman ketika melakukan pelanggaran.
Adapun yang keenam Haya’ adalah rasa malu merupakan tambahan bagi semua hal di atas, karena landasannya adalah perasaan selalu kurang sempurna dan selalu berbuat dosa dan salah.
Kaum muslimin jamaah sholat jumat yang dimuliakan Allah
Faktor penyebab kehadiran hati adalah Himmah atau perhatian utama, karena sesungguhnya hati mengikuti perhatian utama, sehingga ia tidak akan hadir kecuali mengikuti hal-hal yang menjadi perhatian utamanya. Bila ada sesuatu yang menjadi perhatian utama seseorang maka hati pasti akan hadir. Karena hati terbentuk dan terkondisikan dengan perhatian utama tersebut. Apabila hati tidak hadir dalam sholat maka ia tidak akan pasif begitu saja tetapi pasti akan berkeliaran mengikuti urusan dunia yang menjadi perhatian utamanya. Oleh karena itu, tidak ada kiat dan terapi untuk menghadirkan hati kecuali dengan memalingkan perhatian utama kepada sholat.
Sementara itu perhatian tidak akan terarahkan kepada sholat selagi belum jelas bahwa tujuan yang dicari tergantung kepadanya. Bila hal ini didukung oleh hakekat pengetahuan, keimanan dan pembenaran bahwa akherat lebih baik dan lebih kekal, dan bahwa sholat merupakan sarana menuju ke sana. Bila hati tidak bisa hadir pada waktu munajat kepada Maha diraja yang di tanganNya segala kekuasaan, maka hal itu adalah kelemahan iman.
Sedangkan faktor penyebab timbulnya kefahaman, setelah kehadiran hati, ialah senantiasa berfikir dan mengarahkan pikiran untuk mengetahui makna, yaitu menghadirkan hati disertai konsentrasi berfikir dan menolak lintasan pikiran yang liar. Sedangkan cara menolak berbagai lintasan pikiran yang menyibukan itu ialah memotong berbagai hal yang menjadi bahan pikirannya, yakni membebaskan diri dari berbagai sebab-sebab yang membuat pikiran tertarik kepadanya. Bila hal ini yang menjadi bahan pikiran itu tidak dilenyapkan maka pikirannya tidak akan terpalingkan dari padanya.
Kemudian ta’zhim atau rasa hormat merupakan keadaan hati yang lahir dari dua ma’rifat.
Pertama: Ma’rifat atau pengetahuan kita akan kemuliaan dan keagungan Allah yang merupakan salah satu dasar iman. Siapa yang tidak diyakini keagungannya maka jiwa tidak akan mengagungkannya.
Kedua: Ma’rifat atau mengetahui akan kehinaan diri dan statusnya sebagai hamba yang tidak memiliki kuasa apa-apa.
Dari kedua ma’rifat ini lahir rasa pasrah, tidak berdaya, tunduk dan khusyuk, kepada Allah yang diungkapkannya dengan pengagungan kepada Allah, selagi ma’rifat akan kehinaan diri tidak berpadu dengan ma’rifat akan kemuliaan Allah maka pengagungan kepada Allah dan khusyuk tidak akan terpadukan, karena orang yang merasa tidak memerlukan pihak lain dan merasa aman terhadap dirinya bisa saja ia mengetahui sifat-sifat keagungan tetapi kondisinya tidak mencerminkan khusyuk dan ta’zim, sebab syarat yang lain yaitu ma’rifat akan kehinaan dirinya tidak menyertainya.
Kaum Muslimin Jamaah Sholat Jumat yang dimuliakan Allah
Sedangkan haibah atau rasa takut yang bersumber dari rasa hormat dan takut merupakan keadaan jiwa yang lahir dari ma’rifat akan kekuasaan Allah, hukuman-Nya, pengaruh kehendak-Nya. Semakin bertambah pengetahuan sesorang tentang Allah semakin bertambah haibah dan rasa takutnya kepada Allah.
Adapun faktor penyebab timbulnya roja’ atau rasa harap ialah kelembutan Allah, kedermawanan-Nya, keluasan nikmat-Nya, keindahan ciptaan-Nya dan pengetahuan akan kebenaran janji-Nya, khususnya janji sorga bagi orang yang sholat. Bila telah ada keyakinan kepada janji Allah dan pengetahuan akan kelembuatan-Nya maka pasti akan muncullah perasaan roja dan harap.
Kemudian haya' atau rasa malu akan muncul melalui perasaan serba kurang sempurna dalam beribadah dan ketidakmampuannya dalam menunaikan hak-hak Allah. Rasa malu ini akan semakin kuat dengan mengetahui kekurang ikhlasannya, keburukan batinnya dan kecenderungannya kepada perolehan dunia dalam semua amal perbuatannya. Disamping pengetahuannya akan segala konsekwensi kemulian Allah, dan bahwa Dia maha mengetahuai rahasia-rahasia dan lintasan hati sampai ke yang sekecil-kecilnya. Berbagai pengetahuan ini apabila benar-benar telah terwujudkan akan melahirkan suatu yang disebut haya’.
Itulah berbagai sebab dari sifat-sifat tersebut. Setiap sifat yang harus diwujudkan maka caranya adalah dengan mewujudkan sebab yang dapat memunculkannya. Ikatan semua sebab tersebut adalah keimanan dan keyakinan. Kekhusyukan hati sangat bergantung kepada ada tidaknya keyakinan.
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
”Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya”. (Al-Anam : 132)
Apa yang diperoleh setiap orang dari sholatnya sesuai kadar rasa takut, khusyuk, dan ta’zhimnya, karena tempat penilaian Allah adalah hati. Semoga Allah mengaruniakan kelembutan dan kedermawanan-Nya kepada kita dan memberikan kekhusyukan dalam ibadah kita. Amin ya Rabbal alamain.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِيِمْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM

Problematika teologis di kalangan umat Islam baru muncul pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661M) yang ditandai dengan munculnya kelompok dari pendukung Ali yang memisahkan diri mereka karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima Tahkim dalam menyelesaikan konfliknya dengan muawiyah bin abi Sofyan, gubernur syam, pada waktu perang siffin. Kelompok ini selanjutnya dikenal dengan Kelompok Khawarij.
Lahirnya Kelompok Khawarij ini dengan berbagai pendapatnya selanjutnya, menjadi dasar kemunculan kelompok baru  yang dikenal dengan nama Murji’ah. lahirnya Aliran teologi inipun mengawali kemunculan berbagai Aliran-Aliran teologi lainnya. Dan dalam perkembangannya telah banyak melahirkan berbagai Aliran teologi yang masing-masing mempunyai latar belakang dan sejarah perkembangan yang berbeda-beda.Berikut ini akan dibahas tentang pertumbuhan dan perkembangan Aliran tersebut berikut pokok-pokok pikiran nya masing-masing.
1. Aliran Khawarij.
  1. Pengertian dan latar belakang timbulnya Aliran khawarij
Aliran Khawarij merupakan Aliran teologi tertua yang merupakn Aliran pertama yang muncul dalam teologi Islam. Menurut ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah di sepakati para jema’ah, baik ia keluar pada masa sahabat khulafaur rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Menurut bahasa nama khawarij ini berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.[1] Kelompok ini juga kadang kadang menyebut dirinya Syurah yang berarti “golongan yang mengorbankan dirinya untuk allahdi samping itu nama lain dari khawarij ini adalah Haruriyah, istilah ini berasal dari kata harura, nama suatu tempat dekat kufah, yang merupakan tempat mereka menumpahakn rasa penyesalannya kapada Ali bin abi Thalib yang mau berdamai dengan  Mu’awiyah.[2]
Kelompok khawarij ini merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali yang memisahkan diri, dengan beralasan ketidak setujuan mereka  terhadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk menyelesaikan persilisihan dan konfliknya dengan mu’awiyah bin abi sofyan, gubernur syam, pada waktu perang siffin.

Latar belakang ketidak setujuan mereka itu, beralasan bahwa tahkim itu merupakan penyelesaian masalah yang tidak di dasarkan pada ajaran Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak Memutuskan hukum dengan al-quran adalah kafir. Dengan demikian, orang yang melakukan tahkim dan merimanya adalah kafir.[3]
Atas dasar ini, kemudian golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya berbalik menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya yaitu Abu Musa Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash.Untuk itu mereka berusaha keras agar dapat membunuh ke empat tokoh ini, dan menurut fakta sejarah, hanya Ali yang berhasil terbunuh ditangan mereka.
Tokoh-tokoh Khawarij
Diantara tokoh-tokoh khawarij yang terpenting adalah :
Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura (pimpinan Khawarij pertama)
Urwah bin Hudair
Mustarid bin sa’ad
Hausarah al-Asadi
Quraib bin Maruah
Nafi’ bin al-azraq (pimpinan al-Azariqah)
Abdullah bin Basyir
Zubair bin Ali
Qathari bin Fujaah
Abd al-Rabih
Abd al Karim bin ajrad
Zaid bin Asfar
Abdullah bin ibad[4]
C. Sekte-sekte dan ajaran pokok Khawarij
Terpecahnya Khawarij ini menjadi beberapa sekte, mengawali dan mempercepat kehancurannya dan sehingga Aliran ini hanya tinggal dalam catatan sejarah. Sekte-Sekte tersebut adalah: [5]
Al-Muhakkimah
Al-Azariqah
Al-Najdat
Al-baihasyiah
Al-Ajaridah
Al-Sa’Alibah
Al-Ibadiah
Al Sufriyah
Secara umum ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah:
Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair, dengan Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang menerima dan mambenarkannya – di hukum kafir;
Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat. [6]
Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya Usman r.a dianggap telah menyeleweng,
Khalifah Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).[7]
2. Aliran Murji’ah
Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagai mana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan tuhan, karena hanya tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melukan dosa besar masih di anggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada tuhansealin allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasulnya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mangucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.[8]
Pandangan mereka itu terlihat pada kata murji’ah yang barasal dari kata arja-a yang berarti menangguhkan, mengakhirkan dan memberi pengharapan.
Hal-hal yang melatarbelakangi kehadiran murji’ah antara lain adalah : [9]
adanya perbedaan pendapat antara Syi’ah dan Khawarij; mengkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan ali dan mengakfirkan orang- yang terlihat dan menyetujui tahkim dalam perang siffin.
adanya pendapat yang menyalahkan aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya perang jamal.
adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan. [10]
Ajaran-ajaran Murji’ah
Ajaran-ajaran pokok murji’ah dapat disimpulan sebagai berikut: .
Iman Hanya membenarkan (pengakuan) di dalam Hati
Orang islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut tetap mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadt.
Hukum terhadap perbuatan manusia di tangguhkan hingga hari kiamat[11]
Tokoh dan sekte dalam murji’ah
Dalam perkembangannya, Murji’ah mengalami berbagai perbedaan pendapat dikalangan pengikutnya yang mendasari lahirnya aliran-aliran, selanjutnya, aliran murji’ah ini terpecah menjadi beberapa macam sekte, ada yang moderat, ada pula yang ekstrem.
Tokoh murji’ah Moderat antara lain adalah hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusufdan beberapa ahli hadits[12], yang berpendapat, bagaimanapun besarnya dosa seseorang, kemungkinan mendapat ampunan dari tuhan masih ada. Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah kelompok Jahmiyah, pengikut Jaham bin Shafwan. Kelompok ini berpendapat, sekalipun seseorang menyatakan dirinya musyrik, orang itu tidak dihukum kafir.[13]
3. Aliran Qadariyah
Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran Qadariyah
Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan.Sedangkan sebagai suatu aliran dalam ilmu kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham qadariyah manusia di pandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar dan qada Tuhan[14]
Mazhab qadariyah muncul sekitar tahun 70 H(689 M). Ajaran-ajaran tentang Mazhab ini banyak memiliki persamaan dengan ajaran Mu’tazilah sehingga Aliran Qadariyah ini sering juga disebut dengan aliran Mu’tazilah, kesamaan keduanya terletak pada kepercayaan kedunya yang menyatakan bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan dan perbuatannya, dan tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia ini, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah SWT.[15]
Aliran ini merupakan aliran yang suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip ajaran Al-Qur’an dan hadits sendiri. Al-Qur’an dan Hadits mereka tafsirkan berdasarkan logika semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh kebenaran, sebab logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap hasil tangkapan panca indera yang serba terbatas kemampuannya. Jadi seharusnya logika dan akal pikiranlah yang harus tunduk kepada Al-Qura’n dan Hadits, bukan sebaliknya.[16]
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan al Dimasyqi. Kedua tokoh ini yang mempersoalkan tentang Qadar.
Pokok-pokok ajaran Qadariyah
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, pokok-pokok ajaran qadariyah adalah :
Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlahmukmin, tapi fasik dan orang fasikk itu masuk neraka secara kekal.
Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosakarena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri.
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk. [17]
Selanjutnya terlepas apakah paham qadariyah itu di pengaruhi oleh paham luar atau tidak, yang jelas di dalam Al-Qur’an dapat di jumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham qadariyah .
Dalam surat Al Ra’ad Ayat 11, di jelaskan
žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr’Î/ 3
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan diri mereka sendiri”
Dalam Surat Al-Kahfi ayat 29, allah menegaskan
È@è%ur ‘,ysø9$# `ÏB óOä3În/§‘ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sã‹ù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3u‹ù=sù
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
Dengan demikian paham qadariyah memilki dasar yang kuat dalam islam, dan tidaklah beralasan jika ada sebagian orang menilai paham ini sesat atau kelaur dari islam
4. Aliran Jabariyah
1. Pengerian, dan latar belakang Kemunculan jabariyah.
Nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebutkepada Allah.[18] Dan dalam bahasa inggris disebut dengan fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia di tentukan sejak semula oleh qada dan qadar tuhan.
Menurut catatan sejarah, paham jabariyah ini di duga telah ada sejak sebalum agama Islam datangke masyarakat arab. Kehidupan bangsa arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberi kan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang sangat tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari mereka untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebankan mereka semata-mata tunduk dan patuh kepada kehendak tuhan.[19]
Munculnya mazhab ini berkaitan dengan munculnya Qadariyah. Daerah kelahirannya pun berdekatan. Qadariyah muncul di irak, jabariyah di khurasan. Aliran ini pada mulanya di pelopori oleh al-ja’ad bin dirham. Namun, dalam perkembangannya. Aliran ini di sebarluaskan oleh jahm bin Shafwan. Karena itu aliran ini terkadang disebut juga dengan Jahmiah.
Pokok-pokok paham jabariyah.
Selanjutnya, yang menjadi dasar yang sejajar dengan pemahaman pada aliran jabariyah ini dijelaskan Al-Qur’an diantaranya :
Dalam surat al-saffat ayat 96 :
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
Dalam surat al Insan ayat 30, dinyatakan
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o„ ª!$# 4 ÇÌÉÈ…
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah”.
Jaham bin Shafwan mempunyai pendirian bahwa manusia itu terpaksa, tidak mempunyai pilihan dan kekuasaan. Manusia tidak bisa berbuat lain dari apa yang telah di lakukannya. Allah SWT, telah mentakdirkan ats dirinya segala amal perbuatan yang mesti di kerjakannya, dan segala perbuatan itu adalah ciptaan allah, sama seperti apa yang dia ciptakan pada benda-benda yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, jaham menginterpretasikan bahwa pahala dan siksa merupakan paksaan dalam arti bahwa allah telah mentakdirkan seseorang itu baik sekaligus memberi pahala dan allah telah mentakdirkan seseorang itu berdosa sekaligus juga menyiksanya.
Sehingga, dalam realisasinya, orang yang termakan paham ini bisa menjadi apatis dan beku hidupnya, tidak bisa berbuat apa-apa, selain berpangku tangan, menunggu takdir Allah semata-mata dan berusahapun tidak. Karena mereka telah berkeyakinan bahwa allah telah mentakdirkan segala sesuatu, dan manusia tidak bisa mengusahakan sesuatu itu.
Disisi lain, aliran ini tetap berpendapat bahwa manusia tetap mendapat pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
Berkenaan dengan itu perlu dipertegas bahwa Jabariyah yang di kemukakan Jaham bin Shafwan adalah paham yang ekstrem. Sementara itu terdapat pula paham jabariyah yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Husain Bin Muhammad al.Najjar dan Dirar Ibn ‘Amr.
Menurut Najjar dan Dirar, bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan Manusia baik perbuatan itu positif maupun negatif Tetapi dalam melakukan perbuatan itu manusia mempunyai bagian daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh tuhan, mempunyai efek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatanitu.Daya yang diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang kemudian disebut Kasb atau acquisition.[20]
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang di gerakkan oleh dalang, tetapi manusia dan Tuhan terdapat kerja sama dalam mewujudkan suatu perbuatan, dan manusia tidak semata-mata di paksa dalam melaksanakan perbuatannya.
5. Aliran Mu’tazilah
Pengertian dan latar belakang munculnya Mu’tazilah
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata Í’tizal” yang artinya “memisahkan diri”, pada mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.
Aliran mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota basyrah dan mampu bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah muncul pada pertengahan abad pertama hijrah yakni diisitilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya perang jamal dan perang siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.
Disisi lain, yang melatarbelakangi munculnya kedua Mu’tazilah diatas tidaklah sama dan tidak ada hubungannya karena yang pertama lahir akibat kemelut politik, sedangkan yang kedua muncul karena didorong oleh persoalan aqidah.[21]
Dalam perkembangannya, Mu’tazilah pimpinan Washil bin Atha’ lah yang menjadi salah satu aliran teologi dalam islam.
Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah
Ada lima prinsip pokok ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini untuk memegangnya, yan dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf :
al Tauhid (keesaan Allah)
al ‘Adl (keadlilan tuhan)
al Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
al Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
amar mauruf dan Nahi mungkar.[22]
Tokoh-tokoh Mu’tazilah
Diantara para tokoh-tokoh yang berpengaruh pada Mu’tazilah yaitu:
Washil bin Atha’
Abu Huzail al-Allaf
Al Nazzam
Al-Jubba’i[23]
6. Ahlussunah Wal- Jamaah
Pengertian dan para tokoh serta pemikiran-pemikiran mereka.
Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jemaah berarti sahabat nabi. Jadi Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut Sunnah (ittikad) nabi dan para sahabat beliau.[24]
Ahlussunnah sering juga disebut dengan Sunni dapat di bedakan menjadi 2 pengertian, yaitu khusus dan umum, Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syiah, Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagai mana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalambarisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah.[25]
Aliran ini, muncul sebagai reaksi setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan maturidiyah,dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Tokoh utama yang juga merupakan pendiri mazhab ini adalah Abu al hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi.
a. Abu al Hasan al Asy’ari
1. Pokok-pokok pemikirannya
Sifat-sifat Tuhan. Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaiman di sebut di dalam Alqur’an, yang di sebut sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri diatas zat tuhan. Sifat-sifat itu bukanlah zat tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
Al-Qur’an, Manurutnya, al-Quran adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.
Melihat Tuhan, menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.
Perbuatan Manusia. Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan tuhan, bukan di ciptakan oleh manusia itu sendiri.
Antrophomorphisme
Keadlian Tuhan, Menurutnya, tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak tuhan sebab tuhan maha kuasa atas segalanya.
Muslim yang berbuat dosa. Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir hidupnya tidaklah kafir dan tetap mukmin.[26]
Abu manshur Al-Maturidi
1.Pokok-pokok pemikirannya :
Sifat Tuhan. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
Perbuatan Manusia. Menurtnya, Perbuatan manusia sebenarnya di wujudkan oleh manusia itu sendiri, dan bukan merupakan perbuatan tuhan.
Al Quran. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
Kewajiban tuhan. Menurutnya, tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
Muslim yang berbuat dosa. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
Janji tuhan. Menurutnya, janji pahala dan siksa mesti terjadi, dan itu merupakan janji tuhan yang tidak mungkin di pungkirinya.
Antrophomorphisme. [27]
7. Aliran Syiah
Pengertian dan kemunculannya Syi’ah
Secara bahasa Syi’ah berarti pengikut. Yang dimaksud dengan pengikut disini ialah para pendukung Ali bin Abi Thalib. Secara istilah Syi’ah sering di maksudkan pada kaum muslimin yang dalam bidang spritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturuan Nabi Muhammad SAW, atau yang sebut sebagai ahl al-bait.selanjutnya, istilah yiah ini untuk pertama kalinya di tujukan pada para pengikut ali (syi’ah ali), pemimpin pertama ahl- al bait pada masa Nabi Muhammad SAW.
Para pengikut ali yang disebut syi’ah ini diantaranya adalah Abu Dzar al Ghiffari, Miqad bin Al aswad dan Ammar bin Yasir.[28]
Mengenai latar belakng munculnya aliran ini, terdapat dua pendapat, pertama menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin Affankemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Adapun menurut Watt, Syi’ah bener-bener muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal denganPerang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan ali terhadap arbitrase yang diatwarkan Mu’awiyah, pasukan Ali di ceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali –kelak di sebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak di sebut Khawarij.[29]
Pokok-Pokok Pikiran Syi’ah[30]
Kaum Syi’ah memiliki lima prinsip utama yang wajib di percayai oleh penganutnya. Kelima prinsip itu adalah :
al Tauhid
Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa allah itu ada, Maha esa, tunggal, tempat bergantung, segala makhluk, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang menyamainya. Dan juga mereka mempercayai adanya sifat-sifat Allah.
al ‘adl
Kaum Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak melakukan perbuatan zhalim dan perbuatan buruk, ia tidak melakukan perbuatan buruk karena ia melarang keburukan, mencela kezaliman dan orang yang berbuat zalim.
al Nubuwwah
Kepercayaan Syi’ah terhadap para Nabi-nabi juga tidak berbeda dengan keyakinan umat muslim yang lain. Menurut mereka, Allah mengutussejumlah nabi dan rasul ke muka bumi untnk membimbing umat manusia.
al imamah
Menurut Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia sekaligus, ia pengganti rasul dalam memelihara Syari’at, melaksanakan Hudud, dan mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.
al ma’ad
Ma’ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya sepenuhnya akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.
8. Aliran Salafiyah
Pengertian dan latar belakang munculnya Salafiyah
Secara bahasa salafiyah berasal dari kata salaf yang berarti terdahulu, yang dimaksud terdahulu disini adalah orang-orang terdahulu yang semasa Rasul SAW, para sahabat, para tabi’in, dan tabitt tabi’in. sedangakan salafiyah berarti orang-orang yang mengikuti salaf.[31]
Istilah salaf mulai dikenal dan muncul beberapa abad abad sesudah Rasul SAW wafat, yaitu sejak ada orang atau golongan yang tidak puas memahami al Qur’an dan hadits tanpa ta’wil, terutama untuk menjelaskan maksud-maksud tersirat dari ayat-ayat al-Qur’an sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang tidak layak bagi Allah SWT.[32]
Orang yang termasuk dalam kategori salaf adalah orang yang hidup sebelum tahun 300 hijriah, orang yang hidup sesudah tahun 300 H termasuk dalam kategori khalaf.
Tokoh-tokoh ulama salaf dan perkembangan Aliran salafiyah.
Tokoh terkenal ulama salaf adalah Ahmad bin Hambal. Nama lengkapnya, Ahmad, bin Muhammad bin Hambal, beliau juga di kenal sebgai pendiri dan tokoh mazhab Hambali. .
Tokoh salafiyah yang terkenal lainnya adalah Taqiyuddin Abu al Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abd al salam bin Abdullah bin Muhammad bin Taimiyah al Hambali, atau yang lebih di kenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Beliau merupakan seorang teolog dan ahli Hukum yang banyak menghasilkan karya tulis.beliau juga ahli di bidang tafsir dan hadist.
Dalam perkembangannya, ajaran yang bermula pada Imam Ahmad bin Hanbal ini, selanjutnya di kembangkan oleh Ibnu Taimiyah, kemudian di suburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab.dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara Spodaris.
Pada abad ke 20 M gerakan ini muncul dengan dimensi baru. Tokoh-tokohnya adalah Jamaluddin al Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Salafiyah baru al afgani ini terdiri dari 3 komponen pokok yakni :
Keyakinan bahwa kemajuan dan kejayaan umat Islam hanya mungkin di wujudkan jika mereka kembali kepada ajaran Islam yang masih murni dan kembali pada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani pokok hidup sahabat Nabi. Komponen pertama ini merupakan satu unsur yang di miliki oleh salfiyah sebelumnya.
perlwanan terhadap kolonialisme dan mominasi barat, baik politik, ekonomi, maupun kebudayaan.
pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Al Afgani dapat di katakan sebagai penganut salafiyah modern karena dalam rumusan pahamnya yang banyak meletakkan unsur-unsur moderenismesebagai mana terlihat pada komponen 2 dan 3 diatas.
Syekh Muhammad Abduh adalah murid Al afgani dan Muhammad Rasyid Ridaha adalah murid dari Muhammad Abduh, meskipun dalam beberapa hal antara dengan guru berbeda dalam banyak hal mereka sama.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Drs. Abuddin Nata, M.A, Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf,. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995. Hal. 29
[2] Drs. H. M Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996. Hal.
[3] Ibid. Hal. XV
[4] Ibid, Hal. 104
[5] Drs. Abuddin Nata, op. cit. Hal. 30
[6] Drs. H. M. Yusran asmuni, op.cit. Hal. 105.
[7] DR. Abdul Rozak,M.Ag. dkk . Ilmu kalam. Bandung:CV. Pustaka setia,2006. Hal. 51et.seq
[8] Drs. Abuddin Nata. Op.cit . Hal. 33
[9] Drs. H.M Yusran Asmuni, op.cit. Hal. 106
[10] Ibid, Hal. 34
[11] Ibid, Hal. 106
[12] Drs. Abuddin Nata. Op.cit . Hal. 34
[13] Drs. H.M Yusran Asmuni, op.cit. Hal. 108
[14] Drs. Abuddin Nata, op.cit.Hal 36
[15] Drs. H.M. Yusran Asmuni, po.cit. Hal. 109
[16] Drs. H. Zainuddin, Ilmu Tauhid, Jakarta:PT Rineka Cipta, 1992. Hal. 45
[17] Ibid. hal. 47
[18] Drs. Abuddin Nata. Op.cit . Hal. 39
[19] Ibid. hal. 40
[20] Ibid. Hal. 42
[21] Drs. H. M. Yusran Asmuni. Op.cit.Hal 114
[22] Ibid, Hal. 115
[23] Ibid, Hal. 117 et seq
[24] Ibid. Hal. 121.
[25] DR. Abdul Rozak, M.Ag. Dkk, Op.Cit.Hal. 119.
[26] Drs. H.M. Yusran Asmuni, op. cit. Hal. 122 et seq.
[27] Ibid. Hal. 128 et seq
[28] DR. Abdul Rozak, M.Ag. Dkk, Op.Cit.Hal. 89
[29] Ibid, Hal. 90
[30] Drs. H.M. Yusran Asmuni, op. cit. Hal. 135 et seq.
[31] Ibid, Hal. 147
[32] Ibid, Hal. 147

Plus-Minus Ilmu Kalam

Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu'tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy'ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Mu'tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu'tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu'tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu'tazilah. Ilmu Kalam al-Asy'ar'i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy'ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa "jalan keselamatan" hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy'ari.
Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-Asy'ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M). 
Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy 'ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia (al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada al-Asy'ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan sistem Ilmu Kalamnya dipandang sebagai "jalan keselamatan", bersama dengan sistem al-Asy'ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah hadits yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka itu yang bakal selamat:
...Wus dadi prenca-prenca umat ingkang dihin-dihin ing atase pitung puluh loro pontho, lan mbesuk bakal pada prenca-prenca sira kabeh dadi pitting puluh telu pontho, setengah saking pitung puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabeh ing dalem neraka. Ana dene ingkang sewiji ingkang selamet iku, iya iku kelakuan ingkang wus den lakoni Gusti Rasulullah s.a.w., lan iya iku 'aqa'ide Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah lan Maturidiyyah.
(...Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan junjungan Rasulullah s.a.w., yaitu 'aqa'id (pokok-pokok kepercayaan) Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah dan M'aturidiyyah).
Kehormatan besar yang diterima al-Asy'ari ialah karena solusi yang ditawarkannya mengenai pertikaian klasik antara kaum "liberal" dari golongan Mu'tazilah dan kaum "konservatif" dari golongan Hadits (Ahl al-Hadits, seperti yang dipelopori oleh Ahmad ibn Hanbal dan sekalian imam mazhab Fiqh). Kesuksesan al-Asy'ari merupakan contoh klasik cara mengalahkan lawan dengan meminjam dan menggunakan senjata lawan. Dengan banyak meminjam metodologi pembahasan kaum Mu'tazilah, al-Asy'ari dinilai berhasil mempertahankan dan memperkuat paham Sunni di bidang Ketuhanan (di bidang Fiqh yang mencakup peribadatan dan hukum telah diselesaikan terutama oleh para imam mazhab yang empat, sedangkan di bidang tasawuf dan filsafat terutama oleh al-Ghazali, 450-505 H/1058-1111 M). Salah satu solusi yang diberikan oleh al-Asy'ari menyangkut salah satu kontroversi yang paling dini dalam pemikiran Islam, yaitu masalah manusia dan perbuatannya, apakah dia bebas menurut paham Qadariyyah atau terpaksa seperti dalam paham Jabariyyah. Dengan maksud menengahi antara keduanya, al-Asy'ari mengajukan gagasan dan teorinya sendiri, yang disebutnya teori Kasb (al-kasb, acquisition, perolehan). Menurut teori itu, perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan Tuhan, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggung-jawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan kasb atau acquisition, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, dan bukan yang lain, meskipun ia sendiri tidak menguasai dan tidak bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan tertentu yang diinginkan, dipilih dan diputus sendiri untuk dilakukan itu. Ini diungkapkan secara singkat dalam nadham Jawharat al-Tawhid demikian:
Wa indana li l abdi kasbun kullifa, wa lam yakun mu atstsiran fa 'l-tarifa.
Fa laysa majburan wa la 'khtiyara wa laysa kullan yaf'alu 'khtiyara
(Bagi kita Ahl al-Sunnah manusia terbebani oleh kasb dan ketahuilah bahwa ia tidak mempengaruhi tindakannya.
Jadi manusia bukanlah terpaksa dan bukan pula bebas, namun tidak seorang pun mampu berbuat sekehendaknya).
Terhadap rumus itu Kiai Saleh Darat memberi komentar tipikal paham Sunni (menurut Ilmu Kalam Asy'ari) sebagai berikut:
... Maka Jabariyyah lan Qadariyyah iku sasar karone.Maka ana madshab Ahl al-Sunnah iku tengah-tengah antarane Jabariyyah lan Qadariyyah, metu antarane telethong lan getih metu rupa labanan khalishan sa'ghan li al-syaribin.
(... Maka Jabariyyah dan Qadariyyah itu kedua-duanya sesat. Kemudian adalah mazhab Ahl al-Sunnah berada di tengah antara Jabariyyah dan Qadariyyah, keluar dari antara kotoran dan darah susu yang murni, yang menyegarkan orang yang meminumnya).
Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy'ari itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan lawan-lawan al-Asy'ari tidak hanya terdiri dari kaum Mu'tazilah dan Syi'ah (yang dalam Ilmu Kalam banyak mirip dengan kaum Mu'tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu alAsy'ari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan demikian:
... Sesungguhnya para pengikut paham Asy'ari dan sebagian orang yang menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidak masuk akal... Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mu'tazilah dalam masalah-masalah Qadariyyah --sehingga kaum Mu'tazilah menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah-- dan mereka (kaum Asy'ariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada pada benda-benda bernyawa mempunyai dampak atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan).
Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya betapa rumit dan tidak sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb alAsy'ari yang ia sebutkan dirumuskan sebagai "sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu dibarengi dengan kemampuan tersebut" Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa pendapatnya itu disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk Malik, Syafii dan Ibn Hanbal. Namun Ibn Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam oleh ahli yang lain sebagai salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.
Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy'ari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional ('aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql, "salinan" atau "kutipan"), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum "liberal", seperti golongan Mut'azilah, cenderung mendahulukan akal, dan kaum "konservatif" khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta'wil), sebagaimana telah kita bahas. Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy'ari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan "bi la kayfa" (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) --menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy'ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.
Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy'ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu'tazilah, Ilmu Kalam al-Asy'ari pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq) Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta'aqqul (intelektualisasi). Demikian pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategori-kategori yang sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan pasi), juga konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn Taymiyyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa "hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiran" (Al-haqiqah fi al-ayan, la fi al-adzhan).
Epistemologi Ibn Taymiyyah tidak mengizinkan terlalu banyak intelektualisasi, termasuk interprestasi. Sebab baginya dasar ilmu pengetahuan manusia terutama ialah fithrah-nya: dengan fithrah itu manusia mengetahui tentang baik dan buruk, dan tentang benar dan salah. Fithrah yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani, dan lain-lain, diperkuat oleh agama, yang disebut Ibn Taymiyyah sebagai "fithrah yang diturunkan" (al-fithrah al-munazzalah). Maka metodologi kaum Kalam baginya adalah sesat.
Yang amat menarik ialah bahwa epistemologi Ibn Taymiyyah Yang Hanbali berdasarkan fithrah itu paralel dengan epistemologi Abu Ja'far Muhammad ibn Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi (wafat 381 H), seorang "ahli Ilmu Kalam" terkemuka kalangan Syi'ah. Al-Qummi, dengan mengutip berbagai hadits, memperoleh penegasan bahwa pengetahuan tentang Tuhan diperoleh manusia melalui fitrah-nya, dan hanya dengan adanya fitrah itulah manusia mendapat manfaat dari bukti-bukti dan dalil-dalil.
Maka sejalan dengan itu, Ibn Taymiyyah menegaskan, bahwa pangkal iman dan ilmu ialah ingat (dzikr) kepada Allah. "Ingat kepada Allah memberi iman, dan ia adalah pangkal iman .....pangkal ilmu.

Disiplin Keilmuan Tradisional Islam: Ilmu Kalam (Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan)

Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.
Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.
Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum "Santri" masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi).
Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang.
Pertumbuhan Ilmu Kalam

Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti "pembicaraan". Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".
Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.
Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.
Peranan Kaum Khawarij dan Mu'tazilah

Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut:
Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu
Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada 'Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, dalam "Peristiwa Shiffin" di situ 'Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan "de jure"-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap 'Utsman, kaum Khawarij juga memandang 'Ali dan Mu'awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh 'Ali dan Mu'awiyah, juga Amr ibn al-'Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Mu'awiyah mengalahkan Ali dalam "Peristiwa Shiffin" tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya 'Ali, sedangkan Mu'awiyah hanya mengalami luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka 'Amr, karena rupanya mirip).
Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu'tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang 'ulama' yang disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:
Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu'tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra'y (temuan rasional) ...
Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mu'tazilah. Maka salah satu ciri pemikiran Mu'tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God. Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat ("pengingkar" [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu'aththilah ("pembebas" [Tuhan dari sifat-sifat]).
Kaum Mu'tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu'tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu'tazilah disebut sebagai "titisan" doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu'tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu'tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma'mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.
Khalifah al-Ma'mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu'tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma'mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu'tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara. Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)? Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.
Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma'mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam."

Thursday, September 22, 2011

Naibul Fa'il

Naibul fa’il adalah isim marfu’ yang terletak setelah fi’il majhul untuk menunjukkan orang yang dikenai pekerjaan.
Contoh:
ضُرِبَ الْكَلْبُ (Anjing itu telah dipukul)
يُكْتَبُ الدَّرْسُ (Pelajaran sedang ditulis)
Ketentuan-ketentuan naibul fa’il
1. Naibul fa’il merupakan isim marfu’. Asal dari na’ibul fa’il adalah sebagai obyek (maf’ul bih) yang mempunyai I’rob nashob. Tatkala failnya dihapus, maka maf’ul bih menggantikan posisi fa’il yang mempunyai I’rob rofa’.
Contoh:
Tatkala fa’ilnya dihapus, menjadi:
نُصِرَ مُحَمَّدٌ (Muhammad ditolong)
2. Naibul fa’il harus diletakkan setelah fi’il. Apabila ada isim marfu’ yang terletak di depan /sebelum fi’il maka dia bukan naibul fa’il.
Contoh:
مُحَمَّدٌ نُصِرَ (Muhammad ditolong)
مُحَمَّدٌ bukan naibul fa’il. Hal ini karena ia terletak di depan fi’il.
Naibul fa’ilnya adalah berupa dhomir mustatir yang terdapat pada fi’il نُصِرَ yang taqdirnya adalah هُوَ
3. Fi’il yang dipakai adalah fi’il majhul.
Contoh:
مُحَمَّدٌ bukan sebagai na’ibul fail karena fi’il yang dipakai bukan fi’il majhul.
4. Fi’il yang dipakai harus selalu dalam bentuk mufrod
Contoh:
قُتِلَالْكَافِرُ (Seorang kafir itu telah dibunuh)
قُتِلَ الْكَافِرَانِ (Dua orang kafir itu telah dibunuh)
قُتِلَ الْكَافِرُوْنَ (Orang-orang kafir itu telah dibunuh)
5. Bila naibul fa’ilnya mudzakkar, maka fi’ilnya mufrod mudzakkar. Bila naibul failnya muannats maka fi’ilnya mufrod muannats.
Contoh:
6. Apabila susunan sebelum fa’ilnya dihapus menpunyai dua maf’ul bih (obyek), maka setelah failnya dihapus, maf’ul bih pertama menjadi naibul fail sedangkan maful bih kedua tetap manshub sebagai maf’ul bih.
Contoh:
Tatkala fa’ilnya dihapus, maka fi’ilnya harus dirubah menjadi bentuk majhul. Kemudian maf’ul bih pertama ( yaitu الْفَقِيْرَ ) berubah menjadi naibul fail, sehingga I’robnya menjadi rofa’. Adapun maf’ul bih ke dua ( yaitu طَعَامًا )tetap manshub sebagai maf’ul bih.
Catatan Na’ibul Fa’il:
1. Ketentuan na’ibul fa’il mirip dengan ketentuan yang ada pada fa’il.
2. Naibul fa’il tidak harus terletak secara langsung dibelakang fi’ilnya.
Contoh:
3. Apabila na’ibul fa’il tidak terletak secara langsung dibelakang fi’ilnya, maka untuk na’ibul fa’il yang muannats, fi’ilnya boleh mufrod muannats atau mufrod mudzakkar.
Contoh:
atau
4. Apabila na’ibul fa’ilnya berupa jamak taksir, maka fi’ilnya boleh berbentuk mufrod mudzakkar atau mufrod muannats.
Contoh:
Atau
5. Terkadang, na’ibul fa’il berupa isim mabni
Contoh:
قُبِضَ الَّذِى سَرَقَ الْفُلُوْسَ (Telah ditangkap orang yang mencuri uang)
قُتِلَ الْكَافِرُ (Orang kafir itu dibunuh)
تُنْكَحُ (Orang itu dinikahi)
ضُرِبُوْا (Mereka dipukul)