Thursday, July 28, 2011

Gambar Masjid dan Ka'bah 3D

Mungkin kita sering memimpikan bisa jalan-jalan keharomain dan bisa lihat indahnya pemandangan disana. agungnya ka'bah dan bagusnya makkah. maka disini ana pingin berbagi gambar 3D ini yang seperti kita semua ada disana, sehingga minimal kita semua bisa seperti ada disana. dah ya gx usah bertele-tele...... langsung saja download aja. key
1. 360_ISTANBUL_KizKulesi_Kuleden_2.exe
2. 360_MEDINE_KralFahdParki.exe
3. 360_MEDINE_KubaMescidi_Minare_1.exe
4. 360_MEKKE_SevrDagi_1.exe


Keutamaan Puasa Ramadhan

Kaum muslimin yang semoga yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, bulan ramadan adalah bulan yang penuh dengan barakah, bulan dimana segala kebaikan yang banyak terdapat di sana, berikut ini kami akan memaparkan beberapa keutamaan bagi seorang muslim yang berpuasa pada bulan tersebut.

Banyak sekali ayat-ayat yang tegas dan jelas dalam Al-Qur’an yang memberikan anjuran untuk melaksanakan puasa sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan juga Allah ta’ala telah menjelaskan keutamaan-keutamaannya, seperti firman-Nya:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35)

Puasa Merupakan Perisai Bagi Seorang Muslim

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يا معشر الشباب من اسطاع منكم الباءة فاليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء

“Wahai sekalian para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barang siapa yang belum mampu menikah maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah penjaga baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka pada hadits ini Rasulullah memerintahkan bagi orang yang telah kuat syahwatnya akan tetapi belum mampu untuk menikah maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi pemutus syahwat ini, karena puasa menahan kuatnya anggota badan hingga badan bisa terkontrol menenangkan seluruh anggota badan serta seluruh kekuatan (yang jelek) bisa di tahan hingga dapat melakukan ketaatan dan di belenggu dengan kendali puasa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

ما من عبد يصوم يوما في سبيل الله إلا باعد الله بذالك وجهه عن النار سبعين خريفا

“Tidaklah seorang hamba yang berpuasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maksud sabda Rasulullah “70 musim” adalah perjalanan 70 tahun, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (6/48)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما من عبد يصوم يوما في سبيل الله إلا باعد الله بذالك وجهه عن النار سبعين خريفا

“Barang siapa berpuasa satu hari di jalan Allah maka Allah akan menjadikan di antara neraka dan dirinya parit yang jaraknya sejauh bumi dan langit.”

Maka hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan berpuasa yang dilakukan karena ikhlas mengharapkan wajah Allah ta’ala sesuai dengan petunjuk yang telah diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Barang siapa berpuasa satu hari di jalan Allah maka Allah akan menjadikan di antara neraka dan dirinya parit yang jaraknya sejauh bumi dan langit.”

Puasa Bisa Memasukkan Seorang Hamba ke Dalam Surga

Puasa dapat menjauhkan seorang hamba dari neraka, yang berarti mendekatkannya menuju surga.

Seorang sahabat berkata kepada Rasulullah:

يا رسول الله دلني على عمل أدخل به الجنة

“Wahai Rasulullah tunjukkan kepadaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke dalam surga.”

Rasulullah bersabda:

عليك باصوم لا مثل له

“Hendaklah engkau melaksanakan puasa karena tidak ada yang semisal dengannya.” (HR. Nasaai, Ibnu Hibban dan Al Hakim)

Pahala Orang yang Berpuasa Tidak Terbatas, Bau Mulutnya Lebih Wangi Daripada Wangi Kesturi dan Ia Memiliki Dua Kebahagiaan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ.

“Semua amalan bani adam adalah untuknya kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, dan puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah ia berkata keji dan berteriak-teriak. Jika ada orang yang mencacinya atau mengajaknya berkelahi maka hendaklah ia mengatakan, ’sesungguhnya aku sedang berpuasa’. Dan demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau misk. Orang yang berpuasa mempunyai dua kegembiraan, ia bergembira ketika berbuka, dan ia bergembira ketika bertemu dengan rabbnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Bukhari disebutkan:

يترك طعامه وشرابه وشهوته من أجلي. الصيام لي وأنا أجزي به والحسنة بعشر أمثالها

“Ia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena puasa untuk-Ku, dan aku yang akan membalasnya, dan kebaikan itu akan digandakan sepuluh kali lipatnya.”

Dalam riwayat muslim disebutkan:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Semua amalan bani adam akan dilipatgandakan, satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat hingga 700 kali lipatnya, Allah ta’ala berfirman, ‘Kecuali puasa sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan aku yang akan membalasnya, ia meninggalkan syahwat dan makannya karena aku, maka Aku yang akan membalasnya.’ Dan bagi orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-nya. Benar-benar mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih harum daripada harumnya misk.”

Puasa dan Al-Qur’an Akan Memberi Syafaat Kepada Ahlinya Pada Hari Kiamat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ

“Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat pada hari kiamat. Puasa mengatakan ‘Wahai Rabbku, aku menghalanginya dari makan dan syahwat pada siang hari maka berilah ia syafaat karenaku.’ Al-Qur’an pun berkata, ‘Aku menghalanginya dari tidur pada malam hari maka berilah ia syafaat karenanya.” Rasulullah mengatakan, “Maka keduanya akan memberikan syafaat.” (HR. Ahmad, Hakim)

Puasa Sebagai Kaffarat (Penebus Dosa yang Pernah Dilakukan)

Di antara keutamaan puasa yang tidak ada dalam amalan lain adalah Allah menjadikannya sebagai kaffarat bagi orang yang memotong rambut kepalanya (ketika haji) karena ada uzur sakit atau penyakit di kepalanya, puasa juga dapat menjadi kaffarat bagi orang yang tidak mampu memberi kurban, kaffarat bagi pembunuh orang kafir yang punya perjanjian karena tidak sengaja, juga sebagai kaffarat bagi orang yang membatalkan sumpah atau yang membunuh binatang buruan di tanah haram dan sebagai kaffarat zhihar (mentalak istri).

Allah ta’ala berfirman:

وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 196)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah, dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa: 92)

لا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الأيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari, yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar), dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maa-idah: 89)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan Barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (QS. Al-Maa-idah: 95)

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (٣)فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (QS. Al-Mujadilah: 3-4)

Demikian juga puasa dan shadaqah bisa menghapuskan musibah seseorang dari harta, keluarga dan anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فتنة الرجل في أهله وماله وجاره تكفرها الصلاة والصيام والصدقة.

“Fitnah (musibah) seorang pria dalam keluarga (istrinya), harta dan tetangganya dapat dihapuskan dengan shalat, puasa dan shadaqah.”

Sesungguhnya dalam surga ada satu pintu yang di sebut dengan Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa akan memasuki pintu tersebut pada hari kiamat, tidak ada selain mereka yang akan memasukinya.

Orang yang Berpuasa Akan Mendapatkan Ar-Rayyan

إن في الجنة بابا يقال له الريان، يدخل منه الصائمون يوم القيامة. لا يدخل منه أحد غيرهم فإذا دخلوا أغلق فلم يدخل منه أحد [فإذا دخل آخرهم أغلق ومن دخل شرب ومن شرب لم يظمأ أبدا].

“Sesungguhnya dalam surga ada satu pintu yang di sebut dengan Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa akan memasuki pintu tersebut pada hari kiamat, tidak ada selain mereka yang akan memasukinya. Jika orang terakhir yang berpuasa telah masuk ke dalam pintu tersebut maka pintu tersebut akan tertutup. Barang siapa yang masuk, maka ia akan minum dan barang siapa yang minum maka ia tidak akan haus untuk selamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim), tambahan lafaz yang ada dalam kurung merupakan riwayat Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. (1903) (muslim.or.id)

Wednesday, July 27, 2011

Kumpulan Nasyid

Bagi Saudara Saudaraku Yang ingin menenangkan hati dengan selalu mendengarkan Nasyid, Maka disini Ana Kasihkan beberapa link download untuk itu. Tapi Ana sadar disini baru ada beberapa saja yang dapat diposting, jadi kepada saudara sekalian agar meninggalkan pesan, agar dapat ana posting dilain waktu nantinya. selamat mendownload ria . Sukran....!?

62 Allahu Allah..mp3
61 A taani..mp3
08 DA'UNI.mp3

II الأحكام السلطانية

وَأَمَّا انْعِقَادُ الْإِمَامَةِ بِعَهْدِ مَنْ قَبْلَهُ فَهُوَ مِمَّا انْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَى جَوَازِهِ وَوَقَعَ الِاتِّفَاقُ عَلَى صِحَّتِهِ لِأَمْرَيْنِ عَمِلَ الْمُسْلِمُونَ بِهِمَا وَلَمْ يَتَنَاكَرُوهُمَا أَحَدُهُمَا : أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَهِدَ بِهَا إلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَأَثْبَتَ الْمُسْلِمُونَ إمَامَتَهُ بِعَهْدِهِ .
وَالثَّانِي : أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَهِدَ بِهَا إلَى أَهْلِ الشُّورَى فَقَبِلَتْ الْجَمَاعَةُ دُخُولَهُمْ فِيهَا وَهُمْ أَعْيَانُ الْعَصْرِ اعْتِقَادًا لِصِحَّةِ الْعَهْدِ بِهَا وَخَرَجَ بَاقِي الصَّحَابَةِ مِنْهَا ، وَقَالَ عَلِيٌّ لِلْعَبَّاسِ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمَا حِينَ عَاتَبَهُ عَلَى الدُّخُولِ فِي الشُّورَى كَانَ أَمْرًا عَظِيمًا مِنْ أُمُورِ الْإِسْلَامِ لَمْ أَرَ لِنَفْسِي الْخُرُوجَ مِنْهُ فَصَارَ الْعَهْدُ بِهَا إجْمَاعًا فِي انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ ، فَإِذَا أَرَادَ الْإِمَامُ أَنْ يَعْهَدَ بِهَا فَعَلَيْهِ أَنْ يُجْهِدَ رَأْيَهُ فِي الْأَحَقِّ بِهَا وَالْأَقْوَمِ بِشُرُوطِهَا ، فَإِذَا تَعَيَّنَ لَهُ الِاجْتِهَادُ فِي وَاحِدٍ نَظَرَ فِيهِ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ وَلَدًا وَلَا وَالِدًا جَازَ أَنْ يَنْفَرِدَ بِعَقْدِ الْبَيْعَةِ لَهُ وَبِتَفْوِيضِ الْعَهْدِ إلَيْهِ ، وَإِنْ لَمْ يَسْتَشِرْ فِيهِ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الِاخْتِيَارِ ، لَكِنْ اخْتَلَفُوا هَلْ يَكُونُ ظُهُورُ الرِّضَا مِنْهُمْ شَرْطًا فِي انْعِقَادِ بَيْعَتِهِ أَوْ لَا ؟ فَذَهَبَ بَعْضُ عُلَمَاءِ أَهْلِ الْبَصْرَةِ إلَى أَنَّ رِضَا أَهْلِ الِاخْتِيَارِ لِبَيْعَتِهِ شَرْطٌ فِي لُزُومِهَا لِلْأُمَّةِ ؛ لِأَنَّهَا حَقٌّ يَتَعَلَّقُ بِهِمْ فَلَمْ تَلْزَمْهُمْ إلَّا بِرِضَا أَهْلِ الِاخْتِيَارِ مِنْهُمْ .
وَالصَّحِيحُ أَنَّ بَيْعَتَهُ مُنْعَقِدَةٌ وَأَنَّ الرِّضَا بِهَا غَيْرُ مُعْتَبَرٍ ؛ لِأَنَّ بَيْعَةَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ تَتَوَقَّفْ عَلَى رِضَا الصَّحَابَةِ ؛ وَلِأَنَّ الْإِمَامَ أَحَقُّ بِهَا فَكَانَ اخْتِيَارُهُ فِيهَا أَمْضَى ، وَقَوْلُهُ فِيهَا أَنْفَذَ ؛ وَإِنْ كَانَ وَلِيُّ الْعَهْدِ وَلَدًا أَوْ وَالِدًا فَقَدْ اُخْتُلِفَ فِي جَوَازِ انْفِرَادِهِ بِعَقْدِ الْبَيْعَةِ لَهُ عَلَى ثَلَاثَةِ
مَذَاهِبَ .
أَحَدُهَا : لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِعَقْدِ الْبَيْعَةِ لِوَلَدٍ وَلَا لِوَالِدٍ حَتَّى يُشَاوِرَ فِيهِ أَهْلَ الِاخْتِيَارِ فَيَرَوْنَهُ أَهْلًا لَهَا فَيَصِحُّ مِنْهُ حِينَئِذٍ عَقْدُ الْبَيْعَةِ لَهُ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْهُ تَزْكِيَةٌ لَهُ تَجْرِي مَجْرَى الشَّهَادَةِ ؛ وَتَقْلِيدُهُ عَلَى الْأُمَّةِ يَجْرِي مَجْرَى الْحُكْمِ وَهُوَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَشْهَدَ لِوَالِدٍ وَلَا لِوَلَدٍ وَلَا يَحْكُمَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا لِلتُّهْمَةِ الْعَائِدَةِ إلَيْهِ بِمَا جُبِلَ مِنْ الْمَيْلِ إلَيْهِ .
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي : يَجُوزُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِعَقْدِهَا لِوَلَدٍ وَوَالِدٍ لِأَنَّهُ أَمِيرُ الْأُمَّةِ نَافِذُ الْأَمْرِ لَهُمْ وَعَلَيْهِمْ فَغَلَبَ حُكْمُ الْمَنْصِبِ عَلَى حُكْمِ النَّسَبِ وَلَمْ يَجْعَلْ لِلتُّهْمَةِ طَرِيقًا عَلَى أَمَانَتِهِ وَلَا سَبِيلًا إلَى مُعَارَضَتِهِ وَصَارَ فِيهَا كَعَهْدِهِ بِهَا إلَى غَيْرِ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ ، وَهَلْ يَكُونُ رِضَا أَهْلِ الِاخْتِيَارِ بَعْدَ صِحَّةِ الْعَهْدِ مُعْتَبَرًا فِي لُزُومِهِ لِلْأُمَّةِ أَوْ لَا ؟ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ الْوَجْهَيْنِ .
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ : أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِعَقْدِ الْبَيْعَةِ لِوَالِدِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَنْفَرِدَ بِهَا لِوَلَدِهِ ؛ لِأَنَّ الطَّبْعَ يَبْعَثُ عَلَى مُمَايَلَةِ الْوَلَدِ أَكْثَرُ مِمَّا يَبْعَثُ عَلَى مُمَايَلَةِ الْوَالِدِ وَلِذَلِكَ كَانَ كُلُّ مَا يَقْتَنِيهِ فِي الْأَغْلَبِ مَذْخُورًا لِوَلَدِهِ دُونَ وَالِدِهِ ؛ فَأَمَّا عَقْدُهَا لِأَخِيهِ وَمَنْ قَارَبَهُ مِنْ عَصَبَتِهِ وَمُنَاسِبِيهِ فَكَعَقْدِهَا لِلْبُعَدَاءِ الْأَجَانِبِ فِي جَوَازِ تَفَرُّدِهِ بِهَا .
وَإِذَا عَهِدَ الْإِمَامُ بِالْخِلَافَةِ إلَى مَنْ يَصِحُّ الْعَهْدُ إلَيْهِ عَلَى الشُّرُوطِ الْمُعْتَبَرَةِ فِيهِ كَانَ الْعَهْدُ مَوْقُوفًا عَلَى قَبُولِ الْمُوَلَّى .
وَاخْتُلِفَ فِي زَمَانِ قَبُولِهِ فَقِيلَ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوَلِّي فِي الْوَقْتِ الَّذِي يَصِحُّ فِيهِ نَظَرُ الْمُوَلَّى ؛ وَقِيلَ - وَهُوَ الْأَصَحُّ - : إنَّهُ مَا بَيْنَ عَهْدِ الْمُوَلِّي وَمَوْتِهِ لِتَنْتَقِلَ عَنْهُ الْإِمَامَةُ إلَى الْمُوَلَّى مُسْتَقِرَّةً بِالْقَبُولِ الْمُتَقَدِّمِ ، وَلَيْسَ لِلْإِمَامِ الْمُوَلَّى عَزْلُ مَنْ عَهِدَ إلَيْهِ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ حَالُهُ وَإِنْ جَازَ لَهُ عَزْلُ مَنْ اسْتَنَابَهُ مِنْ سَائِرِ خُلَفَائِهِ ، لِأَنَّهُ مُسْتَخْلِفٌ لَهُمْ فِي حَقِّ نَفْسِهِ فَجَازَ لَهُ عَزْلُهُمْ وَمُسْتَخْلِفٌ لِوَلِيِّ عَهْدِهِ فِي حَقِّ الْمُسْلِمِينَ فَلَمْ يَكُنْ لَهُ عَزْلُهُ كَمَا لَمْ يَكُنْ لِأَهْلِ الِاخْتِيَارِ عَزْلُ مَنْ بَايَعُوهُ إذَا لَمْ يَتَغَيَّرْ حَالُهُ ، فَلَوْ عَهِدَ الْإِمَامُ بَعْدَ عَزْلِ الْأَوَّلِ إلَى ثَانٍ كَانَ عَهْدُ الثَّانِي بَاطِلًا وَالْأَوَّلُ عَلَى بَيْعَتِهِ ، فَإِنْ خَلَعَ الْأَوَّلُ نَفْسَهُ لَمْ يَصِحَّ بَيْعَةُ الثَّانِي حَتَّى يَبْتَدِئَ .
وَإِذَا اسْتَعْفَى وَلِيُّ الْعَهْدِ لَمْ يَبْطُلْ عَهْدُهُ بِالِاسْتِعْفَاءِ حَتَّى يُعْفَى لِلُزُومِهِ مِنْ جِهَةِ الْمُوَلَّى ثُمَّ نُظِرَ ، فَإِنْ وُجِدَ غَيْرُهُ جَازَ اسْتِعْفَاؤُهُ وَخَرَجَ مِنْ الْعَهْدِ بِإِجْمَاعِهِمَا عَلَى الِاسْتِعْفَاءِ وَالْإِعْفَاءِ ، وَإِنْ لَمْ يُوجَدْ غَيْرُهُ لَمْ يَجُزْ اسْتِعْفَاؤُهُ وَلَا إعْفَاؤُهُ وَكَانَ الْعَهْدُ عَلَى لُزُومِهِ مِنْ جِهَتَيْ الْمُوَلَّى وَالْمُوَلِّي ؛ وَيُعْتَبَرُ شُرُوطُ الْإِمَامَةِ فِي الْمُوَلَّى مِنْ وَقْتِ الْعَهْدِ إلَيْهِ ، وَإِنْ كَانَ صَغِيرًا أَوْ فَاسِقًا وَقْتَ الْعَهْدِ وَبَالِغًا عَدْلًا عِنْدَ مَوْتِ الْمُوَلِّي لَمْ تَصِحَّ خِلَافَتُهُ حَتَّى يَسْتَأْنِفَ أَهْلُ الِاخْتِيَارِ بَيْعَتَهُ
وَإِذَا عَهِدَ الْإِمَامُ إلَى غَائِبٍ هُوَ مَجْهُولُ الْحَيَاةِ لَمْ يَصِحَّ عَهْدُهُ ؛ وَإِنْ كَانَ مَعْلُومَ الْحَيَاةِ وَكَانَ مَوْقُوفًا عَلَى قُدُومِهِ ؛ فَإِنْ مَاتَ الْمُسْتَخْلِفُ وَوَلِيُّ الْعَهْدِ عَلَى غَيْبَتِهِ اسْتَقْدَمَهُ أَهْلُ الِاخْتِيَارِ ، فَإِنْ بَعُدَتْ وَاسْتَضَرَّ الْمُسْلِمُونَ بِتَأْخِيرِ النَّظَرِ فِي أُمُورِهِمْ اسْتَنَابَ أَهْلُ الِاخْتِيَارِ نَائِبًا عَنْهُ يُبَايِعُونَهُ بِالنِّيَابَةِ دُونَ الْخِلَافَةِ فَإِذَا قَدِمَ الْخَلِيفَةُ الْغَائِبُ انْعَزَلَ الْمُسْتَخْلَفُ النَّائِبُ وَكَانَ نَظَرُهُ قَبْلَ قُدُومِ الْخَلِيفَةِ مَاضِيًا وَبَعْدَ قُدُومِهِ مَرْدُودًا ، وَلَوْ أَرَادَ وَلِيُّ الْعَهْدِ قَبْلَ مَوْتِ الْخَلِيفَةِ أَنْ يَرُدَّ مَا إلَيْهِ مِنْ وِلَايَةِ الْعَهْدِ إلَى غَيْرِهِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ الْخِلَافَةَ لَا تَسْتَقِرُّ لَهُ إلَّا بَعْدَ مَوْتِ الْمُسْتَخْلِفِ ؛ وَهَكَذَا لَوْ قَالَ جَعَلْتُهُ وَلِيَّ عَهْدِي إذَا أَفْضَتْ الْخِلَافَةُ إلَيَّ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ فِي الْحَالِ لَيْسَ خَلِيفَةً فَلَمْ يَصِحَّ عَهْدُهُ بِالْخِلَافَةِ .
وَإِذَا خَلَعَ الْخَلِيفَةُ نَفْسَهُ انْتَقَلَتْ إلَى وَلِيِّ عَهْدِهِ وَقَامَ خَلْعُهُ مَقَامَ مَوْتِهِ ، وَلَوْ عَهِدَ الْخَلِيفَةُ إلَى اثْنَيْنِ لَمْ يُقَدِّمْ أَحَدَهُمَا عَلَى الْآخَرِ جَازَ وَاخْتَارَ أَهْلُ الِاخْتِيَارِ أَحَدَهُمَا بَعْدَ مَوْتِهِ كَأَهْلِ الشُّورَى فَإِنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ جَعَلَهَا فِي سِتَّةٍ .
حَكَى ابْنُ إِسْحَاقَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : وَجَدْتُ عُمَرَ ذَاتَ يَوْمٍ مَكْرُوبًا فَقَالَ مَا أَدْرِي مَا أَصْنَعُ فِي هَذَا الْأَمْرِ ؟ أَقُومُ فِيهِ وَأَقْعُدُ ؟ فَقُلْتُ هَلْ لَكَ فِي عَلِيٍّ ؟ فَقَالَ إنَّهُ لَهَا لَأَهْلٌ وَلَكِنَّهُ رَجُلٌ فِيهِ دُعَابَةٌ وَإِنِّي لَأُرَاهُ لَوْ تَوَلَّى أَمْرَكُمْ لَحَمَلَكُمْ عَلَى طَرِيقَةٍ مِنْ الْحَقِّ تَعْرِفُونَهَا ، قَالَ قُلْتُ فَأَيْنَ أَنْتَ عَنْ عُثْمَانَ ؟ فَقَالَ لَوْ فَعَلْتُ لَحَمَلَ ابْنُ أَبِي مُعَيْطٍ عَلَى رِقَابِ النَّاسِ ثُمَّ لَمْ تَلْتَفِتْ إلَيْهِ الْعَرَبُ حَتَّى تَضْرِبَ عُنُقَهُ ، وَاَللَّهِ لَوْ فَعَلْتُ لَفَعَلَ وَلَوْ فَعَلَ لَفَعَلُوا ؛ قَالَ فَقُلْتُ فَطَلْحَةُ ؟ قَالَ إنَّهُ لَزَهْوٌ مَا كَانَ اللَّهُ لِيُوَلِّيَهُ أَمْرَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ مَا يَعْلَمُ مِنْ زَهْوِهِ ، قَالَ قُلْتُ فَالزُّبَيْرُ ؟ قَالَ إنَّهُ لَبَطَلٌ وَلَكِنَّهُ يَسْأَلُ عَنْ الصَّاعِ وَالْمُدِّ بِالْبَقِيعِ بِالسُّوقِ أَفَذَاكَ يَلِي أُمُورَ الْمُسْلِمِينَ ؟ قَالَ فَقُلْتُ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ ؟ قَالَ لَيْسَ هُنَاكَ إنَّهُ لَصَاحِبُ مَقْتَبٍ يُقَاتِلُ عَلَيْهِ ؛ فَأَمَّا وَلِيُّ أَمْرٍ فَلَا ، قَالَ فَقُلْتُ فَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ ؟ قَالَ نِعْمَ الرَّجُلُ ذَكَرْتَ لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ ، إنَّهُ وَاَللَّهِ لَا يَصْلُحُ لِهَذَا الْأَمْرِ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ إلَّا الْقَوِيُّ فِي غَيْرِ عُنْفٍ اللَّيِّنُ مِنْ غَيْرِ ضَعْفٍ ، وَالْمُمْسِكُ مِنْ غَيْرِ بُخْلٍ ، وَالْجَوَادُ فِي غَيْرِ إسْرَافٍ .
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَلَمَّا جَرَحَهُ أَبُو لُؤْلُؤَةَ وَآيِسَ الطَّبِيبَ مِنْ نَفْسِهِ وَقَالُوا لَهُ اعْهَدْ جَعَلَهَا شُورَى فِي سِتَّةٍ وَقَالَ : هَذَا الْأَمْرُ إلَى عَلِيٍّ وَبِإِزَائِهِ الزُّبَيْرُ ، وَإِلَى عُثْمَانَ
وَبِإِزَائِهِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَإِلَى طَلْحَةَ وَبِإِزَائِهِ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ ، فَلِمَا جَازَ الشُّورَى بَعْدَ مَوْتِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ اجْعَلُوا أَمْرَكُمْ إلَى ثَلَاثَةٍ مِنْكُمْ ، فَقَالَ الزُّبَيْرُ جَعَلْتُ أَمْرِي إلَى عَلِيٍّ ، وَقَالَ طَلْحَةُ جَعَلْتُ أَمْرِي إلَى عُثْمَانَ ، وَقَالَ سَعْدٌ جَعَلْتُ أَمْرِي إلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَصَارَتْ الشُّورَى بَعْدَ السِّتَّةِ فِي هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةِ وَخَرَجَ مِنْهَا أُولَئِكَ الثَّلَاثَةُ ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَيُّكُمْ يَبْرَأُ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ وَنَجْعَلُهُ إلَيْهِ وَاَللَّهُ عَلَيْهِ شَهِيدٌ لِيَحْرِصَ عَلَى صَلَاحِ الْأُمَّةِ فَلَمْ يُجِبْهُ أَحَدٌ ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَتَجْعَلُونَهُ إلَيَّ وَأُخْرِجُ نَفْسِي مِنْهُ وَاَللَّهُ عَلَيَّ شَهِيدٌ عَلَى أَنِّي لَا آلُوكُمْ نُصْحًا فَقَالَا نَعَمْ فَقَالَ قَدْ فَعَلْتُ فَصَارَتْ الشُّورَى بَعْدَ السِّتَّةِ فِي ثَلَاثَةٍ ثُمَّ بَعْدَ الثَّلَاثَةِ فِي اثْنَيْنِ عَلِيٍّ وَعُثْمَانَ ثُمَّ مَضَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ لِيَسْتَعْلِمَ مِنْ النَّاسِ مَا عِنْدَهُمْ فَلَمَّا أَجَنَّهُمْ اللَّيْلُ اسْتَدْعَى الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ وَأَشْرَكَهُ مَعَهُ ثُمَّ حَضَرَ فَأَخَذَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا الْعُهُودَ أَيُّهُمَا بُويِعَ لَيَعْمَلَنَّ بِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ وَلَئِنْ بَايَعَ لِغَيْرِهِ لَيَسْمَعَنَّ وَلَيُطِيعَنَّ ثُمَّ بَايَعَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ .
فَكَانَتْ الشُّورَى الَّتِي دَخَلَ أَهْلُ الْإِمَامَةِ فِيهَا وَانْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَيْهَا أَصْلًا فِي انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ بِالْعَهْدِ وَفِي انْعِقَادِ الْبَيْعَةِ بِعَدَدٍ يَتَعَيَّنُ فِيهِ الْإِمَامَةُ لِأَحَدِهِمْ بِاخْتِيَارِ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ تُجْعَلَ شُورَى فِي اثْنَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ إذَا كَانُوا عَدَدًا مَحْصُورًا .
وَيُسْتَفَادُ مِنْهَا أَنْ لَا تُجْعَلَ الْإِمَامَةُ بَعْدَهُ فِي غَيْرِهِمْ ، فَإِذَا تَعَيَّنَتْ بِالِاخْتِيَارِ فِي أَحَدِهِمْ جَازَ لِمَنْ أَفْضَتْ إلَيْهِ الْإِمَامَةُ أَنْ يَعْهَدَ بِهَا إلَى غَيْرِهِمْ ، وَلَيْسَ لِأَهْلِ الِاخْتِيَارِ إذَا
جَعَلَهَا الْإِمَامُ شُورَى فِي عَدَدٍ أَنْ يَخْتَارُوا أَحَدَهُمْ فِي حَيَاةِ الْمُسْتَخْلِفِ الْعَاهِدِ إلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُمْ فِي تَقْدِيمِ الِاخْتِيَارِ فِي حَيَاتِهِ لِأَنَّهُ بِالْإِمَامَةِ أَحَقُّ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُشَارِكَ فِيهَا ، فَإِنْ خَافُوا انْتِشَارَ الْأَمْرِ بَعْدَ مَوْتِهِ اسْتَأْذَنُوهُ وَاخْتَارُوا إنْ أَذِنَ لَهُمْ ، فَإِنْ صَارَ إلَى حَالِ إيَاسٍ نُظِرَ ، فَإِنْ زَالَ عَنْهُ أَمْرُهُ وَغَرَبَ عَنْهُ رَأْيُهُ فَهِيَ كَحَالِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ فِي جَوَازِ الِاخْتِيَارِ ، وَإِنْ كَانَ عَلَى تَمْيِيزِهِ وَصِحَّةِ رَأْيِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ الِاخْتِيَارُ إلَّا عَنْ إذْنِهِ .
حَكَى ابْنُ إِسْحَاقَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا دَخَلَ مَنْزِلَهُ مَجْرُوحًا سَمِعَ هَدَّةً فَقَالَ مَا شَأْنُ النَّاسِ ؟ قَالُوا يُرِيدُونَ الدُّخُولَ عَلَيْكَ فَأَذِنَ لَهُمْ ، فَقَالُوا : اعْهَدْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اسْتَخْلِفْ عَلَيْنَا عُثْمَانَ : فَقَالَ كَيْفَ يُحِبُّ الْمَالَ وَالْجَنَّةَ فَخَرَجُوا مِنْ عِنْدِهِ ، ثُمَّ سَمِعَ لَهُمْ هَدَّةً فَقَالَ مَا شَأْنُ النَّاسِ ؟ قَالُوا يُرِيدُونَ الدُّخُولَ عَلَيْكَ فَأَذِنَ لَهُمْ فَقَالُوا اسْتَخْلِفْ عَلَيْنَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ ، قَالَ إذَنْ يَحْمِلُكُمْ عَلَى طَرِيقَةٍ هِيَ الْحَقُّ ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ فَاتَّكَأْتُ عَلَيْهِ عِنْدَ ذَلِكَ وَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُومِنِينَ وَمَا يَمْنَعُكَ مِنْهُ ؟ فَقَالَ يَا بُنَيَّ أَتَحَمَّلُهَا حَيًّا وَمَيِّتًا ؟ ،
وَيَجُوزُ لِلْخَلِيفَةِ أَنْ يَنُصَّ عَلَى أَهْلِ الِاخْتِيَارِ كَمَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَنُصَّ عَلَى أَهْلِ الْعَهْدِ ، فَلَا يَصِحُّ إلَّا اخْتِيَارُ مَنْ نَصَّ عَلَيْهِ كَمَا لَا يَصِحُّ إلَّا تَقْلِيدُ مَنْ عَهِدَ إلَيْهِ لِأَنَّهُمَا مِنْ حُقُوقِ خِلَافَتِهِ .
وَلَوْ عَهِدَ الْخَلِيفَةُ إلَى اثْنَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ وَرَتَّبَ الْخِلَافَةَ فِيهِمْ فَقَالَ الْخَلِيفَةُ بَعْدِي فُلَانٌ فَإِنْ مَاتَ فَالْخَلِيفَةُ بَعْدَ مَوْتِهِ فُلَانٌ فَإِنْ مَاتَ فَالْخَلِيفَةُ بَعْدَهُ فُلَانٌ جَازَ وَكَانَتْ الْخِلَافَةُ مُتَنَقِّلَةً إلَى الثَّلَاثَةِ عَلَى مَا رَتَّبَهَا ، فَقَدْ { اسْتَخْلَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَيْشِ مُؤْتَةَ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ وَقَالَ فَإِنْ أُصِيبَ فَجَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَإِنْ أُصِيبَ فَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَإِنْ أُصِيبَ فَلْيَرْتَضِ الْمُسْلِمُونَ رَجُلًا فَتَقَدَّمَ زَيْدٌ فَقُتِلَ فَأَخَذَ الرَّايَةَ جَعْفَرٌ وَتَقَدَّمَ فَقُتِلَ فَأَخَذَ الرَّايَةَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَتَقَدَّمَ فَقُتِلَ فَاخْتَارَ الْمُسْلِمُونَ بَعْدَهُ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ } ، وَإِذْ فَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ فِي الْإِمَارَةِ جَازَ مِثْلُهُ فِي الْخِلَافَةِ .
فَإِنْ قِيلَ هِيَ عَقْدُ وِلَايَةٍ عَلَى صِفَةٍ وَشَرْطٍ وَالْوِلَايَاتُ لَا يَقِفُ عَقْدُهَا عَلَى الشُّرُوطِ وَالصِّفَاتِ .
قِيلَ هَذَا مِنْ الْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ الَّتِي يَتَّسِعُ حُكْمُهَا عَلَى أَحْكَامِ الْعُقُودِ الْخَاصَّةِ ، فَقَدْ عَمِلَ بِذَلِكَ فِي الدَّوْلَتَيْنِ مَنْ لَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ مِنْ عُلَمَاءِ الْعَصْرِ ، هَذَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ عَهِدَ إلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ ثُمَّ بَعْدَهُ إلَى يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ .
وَلَئِنْ لَمْ يَكُنْ سُلَيْمَانُ حُجَّةً فَإِقْرَارُ مَنْ عَاصَرَهُ مِنْ عُلَمَاءِ التَّابِعِينَ وَمَنْ لَا يَخَافُونَ فِي الْحَقِّ لَوْمَةَ لَائِمٍ هُوَ الْحُجَّةُ ؛ وَقَدْ رَتَّبَهَا الرَّشِيدُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي ثَلَاثَةٍ مِنْ بَنِيهِ فِي الْأَمِينِ ثُمَّ الْمَأْمُونِ ثُمَّ الْمُؤْتَمَنِ عَنْ مَشُورَةِ مَنْ عَاصَرَهُ مِنْ فُضَلَاءِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِذَا عَهِدَ الْخَلِيفَةُ إلَى ثَلَاثَةٍ رَتَّبَ الْخِلَافَةَ فِيهِمْ وَمَاتَ وَالثَّلَاثَةُ أَحْيَاءُ كَانَتْ الْخِلَافَةُ بَعْدَ مَوْتِهِ لِلْأَوَّلِ ؛ وَلَوْ مَاتَ الْأَوَّلُ فِي حَيَاةِ الْخَلِيفَةِ كَانَتْ الْخِلَافَةُ بَعْدَهُ لِلثَّانِي ؛ وَلَوْ مَاتَ
الْأَوَّلُ وَالثَّانِي فِي حَيَاةِ الْخَلِيفَةِ فَالْخِلَافَةُ بَعْدَهُ لِلثَّالِثِ لِأَنَّهُ قَدْ اسْتَقَرَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْ الثَّلَاثَةِ بِالْعَهْدِ إلَيْهِ حُكْمُ الْخِلَافَةِ بَعْدَهُ .
وَلَوْ مَاتَ الْخَلِيفَةُ وَالثَّلَاثَةُ مِنْ أَوْلِيَاءِ عَهْدِهِ أَحْيَاءُ وَأَفْضَتْ الْخِلَافَةُ إلَى الْأَوَّلِ مِنْهُمْ فَأَرَادَ أَنْ يَعْهَدَ بِهَا إلَى غَيْرِ الِاثْنَيْنِ مِمَّا يَخْتَارُهُ لَهَا ، فَمِنْ الْفُقَهَاءِ مَنْ مَنَعَهُ مِنْ ذَلِكَ حَمْلًا عَلَى مُقْتَضَى التَّرْتِيبِ إلَّا أَنْ يَسْتَنْزِلَ عَنْهَا مُسْتَحِقَّهَا طَوْعًا .
فَقَدْ عَهِدَ السَّفَّاحُ إلَى الْمَنْصُورِ رَحِمَهُمَا اللَّهُ وَجَعَلَ الْعَهْدَ بَعْدَهُ لِعِيسَى بْنِ مُوسَى فَأَرَادَ الْمَنْصُورُ تَقْدِيمَ الْمَهْدِيِّ عَلَى عِيسَى فَاسْتَنْزَلَهُ عَنْ الْعَهْدِ عَفْوًا لِحَقِّهِ فِيهِ وَفُقَهَاءُ الْوَقْتِ عَلَى تَوَافُرٍ وَتَكَاثُرٍ لَمْ يَرَوْا لَهُ فُسْحَةً فِي صَرْفِهِ عَنْ وِلَايَةِ الْعَهْدِ قَسْرًا حَتَّى اسْتَنْزَلَ وَاسْتَطْيَبَ .
وَالظَّاهِرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَمَا عَلَيْهِ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يَجُوزُ لِمَنْ أَفْضَتْ إلَيْهِ الْخِلَافَةُ مِنْ أَوْلِيَاءِ الْعَهْدِ أَنْ يَعْهَدَ بِهَا إلَى مَنْ شَاءَ وَيَصْرِفُهَا عَمَّنْ كَانَ مُرَتَّبًا مَعَهُ وَيَكُونُ هَذَا التَّرْتِيبُ مَقْصُورًا عَلَى مَنْ يَسْتَحِقُّ الْخِلَافَةَ مِنْهُمْ بَعْدَ مَوْتِ الْمُسْتَخْلِفِ ، فَإِذَا أَفْضَتْ الْخِلَافَةُ مِنْهُمْ إلَى أَحَدِهِمْ عَلَى مُقْتَضَى التَّرْتِيبِ صَارَ أَمْلَكَ بِهَا بَعْدَهُ فِي الْعَهْدِ بِهَا إلَى مَنْ شَاءَ لِأَنَّهُ قَدْ صَارَ بِإِفْضَاءِ الْخِلَافَةِ إلَيْهِ عَامَّ الْوِلَايَةِ نَافِذَ الْأَمْرِ فَكَانَ حَقُّهُ فِيهَا أَقْوَى وَعَهْدُهُ بِهَا أَمْضَى وَخَالَفَ هَذَا مَا فَعَلَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ تَرْتِيبِ أُمَرَائِهِ عَلَى جَيْشِ مُؤْتَةَ ؛ لِأَنَّهُ كَانَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَيَاةِ حَيْثُ لَمْ تَنْتَقِلْ أُمُورُهُمْ إلَى غَيْرِهِ وَهَذَا يَكُونُ بَعْدَ انْتِقَالِ الْأَمْرِ بِمَوْتِهِ إلَى غَيْرِهِ فَافْتَرَقَ حُكْمُ الْعَهْدَيْنِ .
وَأَمَّا اسْتِطَابَةُ

I الأحكام السلطانية

{ وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ } بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ قَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو الْحَسَنِ الْمَاوَرْدِيُّ : الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَوْضَحَ لَنَا مَعَالِمَ الدِّينِ ، وَمَنَّ عَلَيْنَا بِالْكِتَابِ الْمُبِينِ ، وَشَرَعَ لَنَا مِنْ الْأَحْكَامِ ، وَفَصَّلَ لَنَا مِنْ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مَا جَعَلَهُ عَلَى الدُّنْيَا حُكْمًا تَقَرَّرَتْ بِهِ مَصَالِحُ الْخَلْقِ ، وَثَبَتَتْ بِهِ قَوَاعِدُ الْحَقِّ ، وَوَكَّلَ إلَى وُلَاةِ الْأُمُورِ مَا أَحْسَنَ فِيهِ التَّقْدِيرَ ، وَأَحْكَمَ بِهِ التَّدْبِيرَ ، فَلَهُ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَدَّرَ وَدَبَّرَ ، وَصَلَوَاتُهُ وَسَلَامُهُ عَلَى رَسُولِهِ الَّذِي صَدَعَ بِأَمْرِهِ ، وَقَامَ بِحَقِّهِ مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ وَلَمَّا كَانَتْ الْأَحْكَامُ السُّلْطَانِيَّةُ بِوُلَاةِ الْأُمُورِ أَحَقَّ ، وَكَانَ امْتِزَاجُهَا بِجَمِيعِ الْأَحْكَامِ يَقْطَعُهُمْ عَنْ تَصَفُّحِهَا مَعَ تَشَاغُلِهِمْ بِالسِّيَاسَةِ وَالتَّدْبِيرِ ، أَفْرَدْتُ لَهَا كِتَابًا امْتَثَلْتُ فِيهِ أَمْرَ مَنْ لَزِمَتْ طَاعَتُهُ ، لِيَعْلَمَ مَذَاهِبَ الْفُقَهَاءِ فِيمَا لَهُ مِنْهَا فَيَسْتَوْفِيهِ ، وَمَا عَلَيْهِ مِنْهَا فَيُوَفِّيهِ ؛ تَوَخِّيًا لِلْعَدْلِ فِي تَنْفِيذِهِ وَقَضَائِهِ ، وَتَحَرِّيًا لِلنَّصَفَةِ فِي أَخْذِهِ وَعَطَائِهِ ، وَأَنَا أَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى حُسْنَ مَعُونَتِهِ ، وَأَرْغَبُ إلَيْهِ فِي تَوْفِيقِهِ وَهِدَايَتِهِ ، وَهُوَ حَسْبِي وَكَفَى .
( أَمَّا بَعْدُ ) فَإِنَّ اللَّهَ جَلَّتْ قُدْرَتُهُ نَدَبَ لِلْأُمَّةِ زَعِيمًا خَلَفَ بِهِ النُّبُوَّةَ ، وَحَاطَ بِهِ الْمِلَّةَ ، وَفَوَّضَ إلَيْهِ السِّيَاسَةَ ، لِيَصْدُرَ التَّدْبِيرُ عَنْ دِينٍ مَشْرُوعٍ ، وَتَجْتَمِعَ الْكَلِمَةُ عَلَى رَأْيٍ مَتْبُوعٍ فَكَانَتْ الْإِمَامَةُ أَصْلًا عَلَيْهِ اسْتَقَرَّتْ قَوَاعِدُ الْمِلَّةِ ، وَانْتَظَمَتْ بِهِ مَصَالِحُ الْأُمَّةِ حَتَّى اسْتَثْبَتَتْ بِهَا الْأُمُورُ الْعَامَّةُ ، وَصَدَرَتْ عَنْهَا الْوِلَايَاتُ الْخَاصَّةُ ، فَلَزِمَ تَقْدِيمُ حُكْمِهَا عَلَى كُلِّ حُكْمٍ سُلْطَانِيٍّ ،
وَوَجَبَ ذِكْرُ مَا اخْتَصَّ بِنَظَرِهَا عَلَى كُلِّ نَظَرٍ دِينِيٍّ ، لِتَرْتِيبِ أَحْكَامِ الْوِلَايَاتِ عَلَى نَسَقٍ مُتَنَاسِبِ الْأَقْسَامِ ، مُتَشَاكِلِ الْأَحْكَامِ .
وَاَلَّذِي تَضَمَّنَهُ هَذَا الْكِتَابُ مِنْ الْأَحْكَامِ السُّلْطَانِيَّةِ وَالْوِلَايَاتِ الدِّينِيَّةِ عِشْرُونَ بَابًا ، فَالْبَابُ الْأَوَّلُ : فِي عَقْدِ الْإِمَامَةِ .
وَالْبَابُ الثَّانِي : فِي تَقْلِيدِ الْوَزَارَةِ .
وَالْبَابُ الثَّالِثُ : فِي تَقْلِيدِ الْإِمَارَةِ عَلَى الْبِلَادِ .
وَالْبَابُ الرَّابِعُ : فِي تَقْلِيدِ الْإِمَارَةِ عَلَى الْجِهَادِ .
وَالْبَابُ الْخَامِسُ فِي الْوِلَايَةِ عَلَى الْمَصَالِحِ .
وَالْبَابُ السَّادِسُ : فِي وِلَايَةِ الْقَضَاءِ .
وَالْبَابُ السَّابِعُ : فِي وِلَايَةِ الْمَظَالِمِ .
وَالْبَابُ الثَّامِنُ : فِي وِلَايَةِ النِّقَابَةِ عَلَى ذَوِي الْأَنْسَابِ .
وَالْبَابُ التَّاسِعُ : فِي الْوِلَايَةِ عَلَى إمَامَةِ الصَّلَوَاتِ .
وَالْبَابُ الْعَاشِرُ : فِي الْوِلَايَةِ عَلَى الْحَجِّ .
وَالْبَابُ الْحَادِيَ عَشَرَ : فِي وِلَايَةِ الصَّدَقَاتِ .
وَالْبَابُ الثَّانِي عَشَرَ : فِي قَسْمِ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ .
وَالْبَابُ الثَّالِثَ عَشَرَ : فِي وَضْعِ الْجِزْيَةِ وَالْخَرَاجِ .
وَالْبَابُ الرَّابِعَ عَشَرَ : فِيمَا تَخْتَلِفُ أَحْكَامُهُ مِنْ الْبِلَادِ .
وَالْبَابُ الْخَامِسَ عَشَرَ : فِي إحْيَاءِ الْمَوَاتِ وَاسْتِخْرَاجِ الْمِيَاهِ .
وَالْبَابُ السَّادِسَ عَشَرَ : فِي الْحِمَى وَالْأَرْفَاقِ .
وَالْبَابُ السَّابِعَ عَشَرَ : فِي أَحْكَامِ الْإِقْطَاعِ .
وَالْبَابُ الثَّامِنَ عَشَرَ : فِي وَضْعِ الدِّيوَانِ وَذِكْرِ أَحْكَامِهِ .
وَالْبَابُ التَّاسِعَ عَشَرَ : فِي أَحْكَامِ الْجَرَائِمِ .
وَالْبَابُ الْعِشْرُونَ : فِي أَحْكَامِ الْحِسْبَةِ .
الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا ، وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ وَإِنْ شَذَّ عَنْهُمْ الْأَصَمُّ ، وَاخْتُلِفَ فِي وُجُوبِهَا هَلْ وَجَبَتْ بِالْعَقْلِ أَوْ بِالشَّرْعِ ؟ فَقَالَتْ طَائِفَةٌ وَجَبَتْ بِالْعَقْلِ لِمَا فِي طِبَاعِ الْعُقَلَاءِ مِنْ التَّسْلِيمِ لِزَعِيمٍ يَمْنَعُهُمْ مِنْ التَّظَالُمِ وَيَفْصِلُ بَيْنَهُمْ فِي التَّنَازُعِ وَالتَّخَاصُمِ ، وَلَوْلَا الْوُلَاةُ لَكَانُوا فَوْضَى مُهْمَلِينَ ، وَهَمَجًا مُضَاعِينَ ، وَقَدْ قَالَ الْأَفْوَهُ الْأَوْدِيُّ وَهُوَ شَاعِرٌ جَاهِلِيٌّ ( مِنْ الْبَسِيطِ ) : لَا يَصْلُحُ النَّاسُ فَوْضَى لَا سَرَاةَ لَهُمْ وَلَا سَرَاةٌ إذَا جُهَّالُهُمْ سَادُوا وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى : بَلْ وَجَبَتْ بِالشَّرْعِ دُونَ الْعَقْلِ ، لِأَنَّ الْإِمَامَ يَقُومُ بِأُمُورٍ شَرْعِيَّةٍ قَدْ كَانَ مُجَوَّزًا فِي الْعَقْلِ أَنْ لَا يَرِدَ التَّعَبُّدُ بِهَا ، فَلَمْ يَكُنْ الْعَقْلُ مُوجِبًا لَهَا ، وَإِنَّمَا أَوْجَبَ الْعَقْلُ أَنْ يَمْنَعَ كُلُّ وَاحِدٍ نَفْسَهُ مِنْ الْعُقَلَاءِ عَنْ التَّظَالُمِ وَالتَّقَاطُعِ ، وَيَأْخُذَ بِمُقْتَضَى الْعَدْلِ فِي التَّنَاصُفِ وَالتَّوَاصُلِ ، فَيَتَدَبَّرُ بِعَقْلِهِ لَا بِعَقْلِ غَيْرِهِ ، وَلَكِنْ جَاءَ الشَّرْعُ بِتَفْوِيضِ الْأُمُورِ إلَى وَلِيِّهِ فِي الدِّينِ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ } .
فَفَرَضَ عَلَيْنَا طَاعَةَ أُولِي الْأَمْرِ فِينَا وَهُمْ الْأَئِمَّةُ الْمُتَأَمِّرُونَ عَلَيْنَا .
وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { سَيَلِيكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ فَيَلِيكُمْ الْبَرُّ بِبِرِّهِ ، وَيَلِيكُمْ الْفَاجِرُ بِفُجُورِهِ ، فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ ، فَإِنْ أَحْسَنُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ ، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ } .
( فَصْلٌ ) فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْإِمَامَةِ فَفَرْضُهَا عَلَى الْكِفَايَةِ كَالْجِهَادِ وَطَلَبِ الْعِلْمِ ، فَإِذَا قَامَ بِهَا مَنْ هُوَ مِنْ أَهْلِهَا سَقَطَ فَرْضُهَا عَلَى الْكِفَايَةِ ، وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهَا أَحَدٌ خَرَجَ مِنْ النَّاسِ فَرِيقَانِ : أَحَدُهُمَا أَهْلُ الِاخْتِيَارِ حَتَّى يَخْتَارُوا إمَامًا لِلْأُمَّةِ .
وَالثَّانِي أَهْلُ الْإِمَامَةِ حَتَّى يَنْتَصِبَ أَحَدُهُمْ لِلْإِمَامَةِ ، وَلَيْسَ عَلَى مَنْ عَدَا هَذَيْنِ الْفَرِيقَيْنِ مِنْ الْأُمَّةِ فِي تَأْخِيرِ الْإِمَامَةِ حَرَجٌ وَلَا مَأْثَمٌ ، وَإِذَا تَمَيَّزَ هَذَانِ الْفَرِيقَانِ مِنْ الْأُمَّةِ فِي فَرْضِ الْإِمَامَةِ وَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ كُلُّ فَرِيقٍ مِنْهُمَا بِالشُّرُوطِ الْمُعْتَبَرَةِ فِيهِ .
فَأَمَّا أَهْلُ الِاخْتِيَارِ فَالشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِيهِمْ ثَلَاثَةٌ : أَحَدُهَا الْعَدَالَةُ الْجَامِعَةُ لِشُرُوطِهَا .
وَالثَّانِي : الْعِلْمُ الَّذِي يُتَوَصَّلُ بِهِ إلَى مَعْرِفَةِ مَنْ يَسْتَحِقُّ الْإِمَامَةَ عَلَى الشُّرُوطِ الْمُعْتَبَرَةِ فِيهَا .
وَالثَّالِثُ : الرَّأْيُ وَالْحِكْمَةُ الْمُؤَدِّيَانِ إلَى اخْتِيَارِ مَنْ هُوَ لِلْإِمَامَةِ أَصْلَحُ وَبِتَدْبِيرِ الْمَصَالِحِ أَقْوَمُ وَأَعْرَفُ ، وَلَيْسَ لِمَنْ كَانَ فِي بَلَدِ الْإِمَامِ عَلَى غَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ الْبِلَادِ فَضْلُ مَزِيَّةٍ تَقَدَّمَ بِهَا عَلَيْهِ وَإِنَّمَا صَارَ مَنْ يَحْضُرُ بِبَلَدِ الْإِمَامِ مُتَوَلِّيًا لِعَقْدِ الْإِمَامَةِ عُرْفًا لَا شَرْعًا ؛ لِسُبُوقِ عِلْمِهِمْ بِمَوْتِهِ وَلِأَنَّ مَنْ يَصْلُحُ لِلْخِلَافَةِ فِي الْأَغْلَبِ مَوْجُودُونَ فِي بَلَدِهِ .
وَأَمَّا أَهْلُ الْإِمَامَةِ فَالشُّرُوطُ الْمُعْتَبَرَةُ فِيهِمْ سَبْعَةٌ : أَحَدُهَا : الْعَدَالَةُ عَلَى شُرُوطِهَا الْجَامِعَةِ .
وَالثَّانِي : الْعِلْمُ الْمُؤَدِّي إلَى الِاجْتِهَادِ فِي النَّوَازِلِ وَالْأَحْكَامِ .
وَالثَّالِثُ سَلَامَةُ الْحَوَاسِّ مِنْ السَّمْعِ وَالْبَصَرِ وَاللِّسَانِ لِيَصِحَّ مَعَهَا مُبَاشَرَةُ مَا يُدْرَكُ بِهَا .
وَالرَّابِعُ : سَلَامَةُ الْأَعْضَاءِ مِنْ نَقْصٍ يَمْنَعُ عَنْ اسْتِيفَاءِ الْحَرَكَةِ وَسُرْعَةِ النُّهُوضِ .
وَالْخَامِسُ : الرَّأْيُ الْمُفْضِي إلَى سِيَاسَةِ الرَّعِيَّةِ وَتَدْبِيرِ الْمَصَالِحِ .
وَالسَّادِسُ : الشَّجَاعَةُ وَالنَّجْدَةُ الْمُؤَدِّيَةُ إلَى حِمَايَةِ الْبَيْضَةِ وَجِهَادِ الْعَدُوِّ .
وَالسَّابِعُ : النَّسَبُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ مِنْ قُرَيْشٍ لِوُرُودِ النَّصِّ فِيهِ وَانْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ عَلَيْهِ ، وَلَا اعْتِبَارَ بِضِرَارٍ حِينَ شَذَّ فَجَوَّزَهَا فِي جَمِيعِ النَّاسِ ، لِأَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ احْتَجَّ يَوْمَ السَّقِيفَةِ عَلَى الْأَنْصَارِ فِي دَفْعِهِمْ عَنْ الْخِلَافَةِ لَمَّا بَايَعُوا سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ عَلَيْهَا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ } فَأَقْلَعُوا عَنْ التَّفَرُّدِ بِهَا وَرَجَعُوا عَنْ الْمُشَارَكَةِ فِيهَا حِينَ قَالُوا مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ تَسْلِيمًا لِرِوَايَتِهِ وَتَصْدِيقًا لِخَبَرِهِ وَرَضُوا بِقَوْلِهِ : نَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ ، وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { قَدِّمُوا قُرَيْشًا وَلَا تَقَدَّمُوهَا } .
وَلَيْسَ مَعَ هَذَا النَّصِّ الْمُسَلَّمِ شُبْهَةٌ لِمُنَازِعٍ فِيهِ وَلَا قَوْلٌ لِمُخَالِفٍ لَهُ .
وَالْإِمَامَةُ تَنْعَقِدُ مِنْ وَجْهَيْنِ : أَحَدُهُمَا بِاخْتِيَارِ أَهْلِ الْعَقْدِ وَالْحَلِّ .
وَالثَّانِي بِعَهْدِ الْإِمَامِ مِنْ قَبْلُ : فَأَمَّا انْعِقَادُهَا بِاخْتِيَارِ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ ، فَقَدْ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي عَدَدِ مَنْ تَنْعَقِدُ بِهِ الْإِمَامَةُ مِنْهُمْ عَلَى مَذَاهِبَ شَتَّى ؛ فَقَالَتْ طَائِفَةٌ لَا تَنْعَقِدُ إلَّا بِجُمْهُورِ أَهْلِ الْعَقْدِ وَالْحَلِّ مِنْ كُلِّ بَلَدٍ لِيَكُونَ الرِّضَاءُ بِهِ عَامًّا وَالتَّسْلِيمُ لِإِمَامَتِهِ إجْمَاعًا ، وَهَذَا مَذْهَبٌ مَدْفُوعٌ بِبَيْعَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْخِلَافَةِ بِاخْتِيَارِ مَنْ حَضَرَهَا وَلَمْ يَنْتَظِرْ بِبَيْعَتِهِ قُدُومَ غَائِبٍ عَنْهَا .
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى : أَقَلُّ مَنْ تَنْعَقِدُ بِهِ مِنْهُمْ الْإِمَامَةُ خَمْسَةٌ يَجْتَمِعُونَ عَلَى عَقْدِهَا أَوْ يَعْقِدُهَا أَحَدُهُمْ بِرِضَا الْأَرْبَعَةِ اسْتِدْلَالًا بِأَمْرَيْنِ : أَحَدُهُمَا أَنَّ بَيْعَةَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ انْعَقَدَتْ بِخَمْسَةٍ اجْتَمَعُوا عَلَيْهَا ثُمَّ تَابَعَهُمْ النَّاسُ فِيهَا ، وَهُمْ : عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ وَأُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ وَبِشْرُ بْنُ سَعْدٍ وَسَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَالثَّانِي عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ جَعَلَ الشُّورَى فِي سِتَّةٍ لِيُعْقَدَ لِأَحَدِهِمْ بِرِضَا الْخَمْسَةِ ، وَهَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ وَالْمُتَكَلِّمِينَ مِنْ أَهْلِ الْبَصْرَةِ .
وَقَالَ آخَرُونَ مِنْ عُلَمَاءِ الْكُوفَةِ : تَنْعَقِدُ بِثَلَاثَةٍ يَتَوَلَّاهَا أَحَدُهُمْ بِرِضَا الِاثْنَيْنِ لِيَكُونُوا حَاكِمًا وَشَاهِدَيْنِ كَمَا يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ .
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى : تَنْعَقِدُ بِوَاحِدٍ ، لِأَنَّ الْعَبَّاسَ قَالَ لِعَلِيٍّ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمَا اُمْدُدْ يَدَكَ أُبَايِعْكَ فَيَقُولُ النَّاسُ : عَمُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَايَعَ ابْنَ عَمِّهِ فَلَا يَخْتَلِفُ عَلَيْكَ اثْنَانِ ، وَلِأَنَّهُ حُكْمٌ وَحُكْمُ وَاحِدٍ نَافِذٌ .
فَإِذَا اجْتَمَعَ أَهْلُ الْعَقْدِ وَالْحَلِّ لِلِاخْتِيَارِ تَصَفَّحُوا أَحْوَالَ أَهْلِ الْإِمَامَةِ الْمَوْجُودَةِ فِيهِمْ شُرُوطُهَا فَقَدَّمُوا لِلْبَيْعَةِ مِنْهُمْ أَكْثَرَهُمْ فَضْلًا وَأَكْمَلَهُمْ شُرُوطًا وَمَنْ يُسْرِعُ النَّاسُ إلَى طَاعَتِهِ وَلَا يَتَوَقَّفُونَ عَنْ بَيْعَتِهِ ، فَإِذَا تَعَيَّنَ لَهُمْ مِنْ بَيْنِ الْجَمَاعَةِ مَنْ أَدَّاهُمْ الِاجْتِهَادُ إلَى اخْتِيَارِهِ عَرَضُوهَا عَلَيْهِ ، فَإِنْ أَجَابَ إلَيْهَا بَايَعُوهُ عَلَيْهَا وَانْعَقَدَتْ بِبَيْعَتِهِمْ لَهُ الْإِمَامَةُ فَلَزِمَ كَافَّةَ الْأُمَّةِ الدُّخُولُ فِي بَيْعَتِهِ وَالِانْقِيَادُ لِطَاعَتِهِ ، وَإِنْ امْتَنَعَ مِنْ الْإِمَامَةِ وَلَمْ يُجِبْ إلَيْهَا لَمْ يُجْبَرْ عَلَيْهَا لِأَنَّهَا عَقْدُ مُرَاضَاةٍ وَاخْتِيَارٍ لَا يَدْخُلُهُ إكْرَاهٌ وَلَا إجْبَارٌ ، وَعُدِلَ عَنْهُ إلَى مَنْ سِوَاهُ مِنْ مُسْتَحِقِّيهَا .
فَلَوْ تَكَافَأَ فِي شُرُوطِ الْإِمَامَةِ اثْنَانِ قُدِّمَ لَهَا اخْتِيَارًا أَسَنُّهُمَا وَإِنْ لَمْ تَكُنْ زِيَادَةُ السِّنِّ مَعَ كَمَالِ الْبُلُوغِ شَرْطًا ، فَإِنْ بُويِعَ أَصْغَرُهُمَا سِنًّا جَازَ ؛ وَلَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا أَعْلَمَ وَالْآخَرُ أَشْجَعَ رُوعِيَ فِي الِاخْتِيَارِ مَا يُوجِبُهُ حُكْمُ الْوَقْتِ ، فَإِنْ كَانَتْ الْحَاجَةُ إلَى فَضْلِ الشَّجَاعَةِ أَدْعَى لِانْتِشَارِ الثُّغُورِ وَظُهُورِ الْبُغَاةِ كَانَ الْأَشْجَعُ أَحَقَّ ، وَإِنْ كَانَتْ الْحَاجَةُ إلَى فَضْلِ الْعِلْمِ أَدْعَى لِسُكُونِ الدَّهْمَاءِ وَظُهُورِ أَهْلِ الْبِدَعِ كَانَ الْأَعْلَمُ أَحَقَّ ، فَإِنْ وَقَفَ الِاخْتِيَارُ عَلَى وَاحِدٍ مِنْ اثْنَيْنِ فَتَنَازَعَاهَا فَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ إنَّ التَّنَازُعَ فِيهَا لَا يَكُونُ قَدْحًا مَانِعًا .
وَلَيْسَ طَلَبُ الْإِمَامَةِ مَكْرُوهًا ، فَقَدْ تَنَازَعَ فِيهَا أَهْلُ الشُّورَى فَمَا رُدَّ عَنْهَا طَالِبٌ وَلَا مُنِعَ مِنْهَا رَاغِبٌ ، وَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيمَا يُقْطَعُ بِهِ تَنَازُعُهُمَا مَعَ تَكَافُؤِ أَحْوَالِهِمَا ، فَقَالَتْ طَائِفَةٌ : يُقْرَعُ بَيْنَهُمَا وَيُقَدَّمُ مَنْ قَرَعَ مِنْهُمَا .
وَقَالَ آخَرُونَ : بَلْ يَكُونُ أَهْلُ الِاخْتِيَارِ بِالْخِيَارِ فِي بَيْعَةِ أَيِّهِمَا شَاءُوا مِنْ غَيْرِ قُرْعَةٍ ،
فَلَوْ تَعَيَّنَ لِأَهْلِ الِاخْتِيَارِ وَاحِدٌ هُوَ أَفْضَلُ الْجَمَاعَةِ فَبَايَعُوهُ عَلَى الْإِمَامَةِ وَحَدَثَ بَعْدَهُ مَنْ هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ انْعَقَدَتْ بِبَيْعَتِهِمْ إمَامَةُ الْأَوَّلِ وَلَمْ يَجُزْ الْعُدُولُ عَنْهُ إلَى مَنْ هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ ؛ وَلَوْ ابْتَدَءُوا بَيْعَةَ الْمَفْضُولِ مَعَ وُجُودِ الْأَفْضَلِ نُظِرَ ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ لِعُذْرٍ دَعَا إلَيْهِ مِنْ كَوْنِ الْأَفْضَلِ غَائِبًا أَوْ مَرِيضًا أَوْ كَوْنِ الْمَفْضُولِ أَطْوَعَ فِي النَّاسِ وَأَقْرَبَ فِي الْقُلُوبِ انْعَقَدَتْ بَيْعَةُ الْمَفْضُولِ وَصَحَّتْ إمَامَتُهُ .
وَإِنْ بُويِعَ لِغَيْرِ عُذْرٍ فَقَدْ اُخْتُلِفَ فِي انْعِقَادِ بَيْعَتِهِ وَصَحَّتْ إمَامَتُهُ ؛ فَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ الْجَاحِظُ إلَى أَنَّ بَيْعَتَهُ لَا تَنْعَقِدُ ؛ لِأَنَّ الِاخْتِيَارَ إذَا دَعَا إلَى أَوْلَى الْأَمْرَيْنِ لَمْ يَجُزْ الْعُدُولُ عَنْهُ إلَى غَيْرِهِ مِمَّا لَيْسَ بِأَوْلَى كَالِاجْتِهَادِ فِي الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ .
وَقَالَ الْأَكْثَرُ مِنْ الْفُقَهَاءِ وَالْمُتَكَلِّمِينَ تَجُوزُ إمَامَتُهُ وَصَحَّتْ بَيْعَتُهُ ، وَلَا يَكُونُ وُجُودُ الْأَفْضَلِ مَانِعًا مِنْ إمَامَةِ الْمَفْضُولِ إذَا لَمْ يَكُنْ مُقَصِّرًا عَنْ شُرُوطِ الْإِمَامَةِ ، كَمَا يَجُوزُ فِي وِلَايَةِ الْقَضَاءِ تَقْلِيدُ الْمَفْضُولِ مَعَ وُجُودِ الْأَفْضَلِ ، لِأَنَّ زِيَادَةَ الْفَضْلِ مُبَالَغَةٌ فِي الِاخْتِيَارِ وَلَيْسَتْ مُعْتَبَرَةً فِي شُرُوطِ الِاسْتِحْقَاقِ ، فَلَوْ تَفَرَّدَ فِي الْوَقْتِ بِشُرُوطِ الْإِمَامَةِ وَاحِدٌ لَمْ يُشْرِكَ فِيهَا غَيْرُهُ تَعَيَّنَتْ فِيهِ الْإِمَامَةُ وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْدَلَ بِهَا عَنْهُ إلَى غَيْرِهِ .
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي ثُبُوتِ إمَامَتِهِ وَانْعِقَادِ وِلَايَتِهِ بِغَيْرِ عَقْدٍ وَلَا اخْتِيَارٍ ؛ فَذَهَبَ بَعْضُ فُقَهَاءِ الْعِرَاقِ إلَى ثُبُوتِ وِلَايَتِهِ وَانْعِقَادِ إمَامَتِهِ وَحَمْلِ الْأُمَّةِ عَلَى طَاعَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَعْقِدْهَا أَهْلُ الِاخْتِيَارِ ، لِأَنَّ مَقْصُودَ الِاخْتِيَارِ تَمْيِيزُ الْمُوَلَّى وَقَدْ تَمَيَّزَ هَذَا بِصِفَتِهِ .
وَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ وَالْمُتَكَلِّمِينَ إلَى أَنَّ إمَامَتَهُ لَا تَنْعَقِدُ إلَّا بِالرِّضَا وَالِاخْتِيَارِ لَكِنْ يَلْزَمُ أَهْلَ الِاخْتِيَارِ عَقْدُ الْإِمَامَةِ لَهُ ، فَإِنْ اتَّفَقُوا أَتَمُّوا لِأَنَّ الْإِمَامَةَ عَقْدٌ لَا يَتِمُّ إلَّا بِعَاقِدٍ ، وَكَالْقَضَاءِ إذَا لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ لَهُ إلَّا وَاحِدٌ لَمْ يَصِرْ قَاضِيًا حَتَّى يُوَلَّاهُ ؛ فَرَكَّبَ بَعْضُ مَنْ قَالَ بِذَلِكَ الْمَذْهَبِ هَذَا الْبَابَ وَقَالَ يَصِيرُ قَاضِيًا إذَا تَفَرَّدَ بِصِفَتِهِ كَمَا يَصِيرُ الْمُنْفَرِدُ بِصِفَتِهِ إمَامًا .
وَقَالَ بَعْضُهُمْ : لَا يَصِيرُ الْمُنْفَرِدُ قَاضِيًا وَإِنْ صَارَ الْمُنْفَرِدُ إمَامًا ، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِأَنَّ الْقَضَاءَ نِيَابَةٌ خَاصَّةٌ يَجُوزُ صَرْفُهُ عَنْهُ مَعَ بَقَائِهِ عَلَى صِفَتِهِ ، فَلَمْ تَنْعَقِدْ وِلَايَتُهُ إلَّا بِتَقْلِيدِ مُسْتَنِيبٍ لَهُ ، وَالْإِمَامَةُ مِنْ الْحُقُوقِ الْعَامَّةِ الْمُشْتَرَكَةِ بَيْنَ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى وَحُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ لَا يَجُوزُ صَرْفُ مَنْ اسْتَقَرَّتْ فِيهِ إذَا كَانَ عَلَى صِفَةٍ فَلَمْ يَفْتَقِرْ تَقْلِيدُ مُسْتَحِقِّهَا مَعَ تَمَيُّزِهِ إلَى عَقْدٍ مُسْتَثْبَتٍ لَهُ .
وَإِذَا عُقِدَتْ الْإِمَامَةُ لِإِمَامَيْنِ فِي بَلَدَيْنِ لَمْ تَنْعَقِدْ إمَامَتُهُمَا ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ لِلْأُمَّةِ إمَامَانِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ وَإِنْ شَذَّ قَوْمٌ فَجَوَّزُوهُ .
وَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي الْإِمَامِ مِنْهُمَا ؛ فَقَالَتْ طَائِفَةٌ هُوَ الَّذِي عُقِدَتْ لَهُ الْإِمَامَةُ فِي الْبَلَدِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ مَنْ تَقَدَّمَهُ لِأَنَّهُمْ بِعَقْدِهَا أَخَصُّ وَبِالْقِيَامِ بِهَا أَحَقُّ وَعَلَى كَافَّةِ الْأُمَّةِ فِي الْأَمْصَارِ كُلِّهَا أَنْ يُفَوِّضُوا عَقْدَهَا إلَيْهِمْ وَيُسَلِّمُوهَا لِمَنْ بَايَعُوهُ لِئَلَّا يَنْتَشِرَ الْأَمْرُ بِاخْتِلَافِ الْآرَاءِ وَتَبَايُنِ الْأَهْوَاءِ .
وَقَالَ آخَرُونَ بَلْ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يَدْفَعَ الْإِمَامَةَ عَنْ نَفْسِهِ وَيُسَلِّمَهَا إلَى صَاحِبِهِ طَلَبًا لِلسَّلَامَةِ وَحَسْمًا لِلْفِتْنَةِ لِيَخْتَارَ أَهْلُ الْعَقْدِ أَحَدَهُمَا أَوْ غَيْرَهُمَا ، وَقَالَ آخَرُونَ بَلْ يُقْرَعُ بَيْنَهُمَا دَفْعًا لِلتَّنَازُعِ وَقَطْعًا لِلتَّخَاصُمِ فَأَيُّهُمَا قَرَعَ كَانَ بِالْإِمَامَةِ أَحَقَّ .
وَالصَّحِيحُ فِي ذَلِكَ وَمَا عَلَيْهِ الْفُقَهَاءُ الْمُحَقِّقُونَ أَنَّ الْإِمَامَةَ لِأَسْبَقِهِمَا بَيْعَةً وَعَقْدًا كَالْوَلِيَّيْنِ فِي نِكَاحِ الْمَرْأَةِ إذَا زَوَّجَاهَا بِاثْنَيْنِ كَانَ النِّكَاحُ لِأَسْبَقِهِمَا عَقْدًا .
فَإِذَا تَعَيَّنَ السَّابِقُ مِنْهُمَا اسْتَقَرَّتْ لَهُ الْإِمَامَةُ وَعَلَى الْمَسْبُوقِ تَسْلِيمُ الْأَمْرِ إلَيْهِ وَالدُّخُولُ فِي بَيْعَتِهِ ، وَإِنْ عُقِدَتْ الْإِمَامَةُ لَهُمَا فِي حَالٍ وَاحِدٍ لَمْ يَسْبِقْ بِهَا أَحَدُهُمَا فَسَدَ الْعَقْدَانِ وَاسْتُؤْنِفَ الْعَقْدُ لِأَحَدِهِمَا أَوْ لِغَيْرِهِمَا ، وَإِنْ تَقَدَّمَتْ بَيْعَةُ أَحَدِهِمَا وَأَشْكَلَ الْمُتَقَدِّمُ مِنْهُمَا وَقَفَ أَمْرُهُمَا عَلَى الْكَشْفِ ، فَإِنْ نَازَعَاهَا وَادَّعَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنَّهُ الْأَسْبَقُ لَمْ تُسْمَعْ دَعْوَاهُ وَلَمْ يَحْلِفْ عَلَيْهَا ، لِأَنَّهُ لَا يَخْتَصُّ بِالْحَقِّ فِيهَا وَإِنَّمَا هُوَ حَقُّ الْمُسْلِمِينَ جَمِيعًا فَلَا حُكْمَ لِيَمِينِهِ فِيهِ وَلَا لِنُكُولِهِ عَنْهُ وَهَكَذَا لَوْ قَطَعَ التَّنَازُعَ فِيهَا وَسَلَّمَهَا أَحَدُهُمَا

Mengapa Al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab

Al-hamdulillah, wash-shalatu wassalamu 'ala rasulillah, wa ba'du
Barangkali ada sebagian dari kita, termasuk kaum muslimin, masih muncul pertanyaan dalam dirinya: Mengapa Al-Quran, wahyu Alloh yang diturunkan melalui Rasululloh Muhammad, menggunakan bahasa Arab sebagai mediatornya?
Mengapa bukan Bahasa Inggris, yang notabene saat ini merupakan bahasa terbesar di dunia? Atau Bahasa Indonesia, atau Bahasa Jawa?
Pada prinsipnya pastilah Alloh yang Maha Sempurna mempunyai alasan yang bagus mengenai masalah ini, yang di luar kemampuan dan pengetahuan kita. Namun artikel berikut ini mudah-mudahan dapat sedikit menjawab pertanyaan di atas. Artikel ini penulis kutip dari artikel “tanya jawab ustadz” di situs eramuslim.com dengan sedikit modifikasi, dengan tujuan efisiensi tempat, namun insya Alloh tidak mengurangi isinya. Semoga bermanfaat.
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Mengapa Al-Qur'an berbahasa Arab?
Alasannya pastilah terkait dengan karakteristik Al-Qur'an itu sendiri, sehingga bahasa lain dianggap tidak layak digunakan oleh Al-Qur'an. Maka untuk menjawabnya, kita perlu tahu karakteristik Al-Qur'an itu sendiri.
1. Al-Qur'an untuk Semua Manusia
Berbeda dengan kitab suci agama sebelum Islam yang diperuntukkan khusus kepada kalangan terbatas, Al-Qur'an diperuntukkan untuk seluruh makhluk melata yang bernama manusia. Maka bahasa yang digunakan Al-Qur'an haruslah bahasa yang punya posisi strategis bagi semua bangsa manusia. Dan bahasa itu adalah bahasa arab dengan sekian banyak alasannya. Di antaranya:
a. Bahasa arab adalah bahasa tertua di dunia.
Sebagian ahli sejarah bahasa mengatakan bahwa Nabi Adam as dan istrinya Hawwa adalah manusia yang pertama kali menggunakan bahasa Arab. Sebab mereka diciptakan di dalam surga, dimana ada dalil yang menyebutkan bahwa bahasa penduduk surga adalah bahasa arab. Ketika Adam as menjejakkan kaki pertama kali di permukaan planet bumi, maka bahasa yang dilafadzkannya tentu bahasa arab.
Kalau kemudian anak-anak Adam berkembang biak dan melahirkan jutaan bahasa yang beragam di muka bumi, semua berasal dari bahasa arab. Jadi bahasa arab memang induk dari semua bahasa yang dikenal umat manusia. Wajar pula bila Al-Qur'an yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia menggunakan bahasa yang menjadi induk semua bahasa umat manusia.
b. Bahasa Arab Paling Banyak Memiliki Kosa Kata
Sebagai induk dari semua bahasa di dunia dan tetap digunakan umat manusia hingga hari ini, wajar pula bila bahasa Arab memiliki kosa kata dan perbendaharaan yang sangat luas dan banyak. Bahkan para ahli bahasa Arab menuturkan bahwa bahasa Arab memiliki sinonim yang paling menakjubkan. Kata unta yang dalam bahasa Indonesia hanya ada satu padanannya, ternyata punya 800 padanan kata dalam bahasa arab, yang semuanya mengacu kepada satu hewan unta. Sedangkan kata 'anjing' memiliki 100-an padanan kata.
Fenomena seperti ini tidak pernah ada di dalam bahasa lain di dunia ini. Dan hanya ada di dalam bahasa arab, karena faktor usia bahasa arab yang sangat tua, tetapi tetap masih digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari hingga hari ini. Dengan alasan ini maka wajar pula bila Alloh SWT memilih bahasa arab sebagai bahasa yang dipakai di dalam Al-Qur'an.
2. Al-Qur'an Berlaku Sepanjang Masa
Berbeda dengan kitab suci agama lain yang hanya berlaku untuk masa yang terbatas, Al-Qur'an sebagai kitab suci diberlakukan untuk masa waktu yang tak terhingga, bahkan sampai datangnya kiamat. Maka bahasa yang digunakan Al-Qur'an haruslah bahasa yang tetap digunakan oleh umat manusia sepanjang zaman.
Kenyataannya, sejarah manusia belum pernah mengenal sebuah bahasa pun yang tetap eksis sepanjang sejarah. Setiap bahasa punya usia, selebihnya hanya tinggal peninggalan sejarah. Bahkan bahasa Inggris sekalipun masih mengalami kesenjangan sejarah. Maksudnya, bahasa Inggris yang digunakan pada hari ini jauh berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh orang Inggris di abad pertengahan. Kalau Ratu Elizabeth II masuk ke lorong waktu dan bertemu dengan 'mbah buyut'-nya, King Arthur, yang hidup di abad pertengahan, mereka tidak bisa berkomunikasi, meski sama-sama penguasa Inggris di zamannya. Mengapa?
Karena meski namanya masih bahasa Inggris, tapi kenyataannya bahasa keduanya jauh berbeda. Karena setiap bahasa mengalami perkembangan, baik istilah maupun grammar-nya. Setelah beratus tahun kemudian, bahasa itu sudah jauh mengalami deviasi yang serius.
Yang demikian itu tidak pernah terjadi pada bahasa Arab. Bahasa yang diucapkan oleh nabi Muhammad SAW sebagai orang arab yang hidup di abad ke-7 masih utuh dan sama dengan bahasa yang dipakai oleh Raja Abdullah, penguasa Saudi Arabia di abad 21 ini. Kalau seandainya keduanya bertemu dengan mesin waktu, mereka bisa 'ngobrol ngalor ngidul' hingga subuh dengan menggunakan bahasa arab.
Dengan kenyataan seperti ini, wajarlah bila Alloh SWT memilih bahasa arab sebagai bahasa Al-Qur'an Al-Kariem yang abadi. Kalau tidak, boleh jadi Al-Qur'an sudah musnah seiring dengan musnahnya bahasanya.
3. Al-Qur'an Mengandung Informasi yang Padat
Diantara keistimewaan bahasa arab adalah kemampuannya menampung informasi yang padat di dalam huruf-huruf yang singkat. Sebuah ungkapan yang hanya terdiri dari dua atau tiga kata dalam bahasa arab, mampu memberikan penjelasan yang sangat luas dan mendalam. Sebuah kemampuan yang tidak pernah ada di dalam bahasa lain.
Makanya, belum pernah ada terjemahan Al-Qur'an yang bisa dibuat dengan lebih singkat dari bahasa arab aslinya. Semua bahasa umat manusia akan bertele-tele dan berpanjang-panjang ketika menguraikan isi kandungan tiap ayat. Sebagai contoh, lafadz 'ain dalam bahasa arab artinya 'mata', ternyata punya makna lain yang sangat banyak. Kalau kita buka kamus dan kita telusuri kata ini, selain bermakna mata juga punya sekian banyak makna lainnya. Di dalam kamus kita mendapati makna lainnya, seperti manusia, jiwa, hati, mata uang logam, pemimpin, kepala, orang terkemuka, macan, matahari, penduduk suatu negeri, penghuni rumah, sesuatu yang bagus atau indah, keluhuran, kemuliaan, ilmu, spion, kelompok, hadir, tersedia, inti masalah, komandan pasukan, harta, riba, sudut, arah, segi, telaga, pandangan, dan lainnya.
Bahasa lain tidak punya makna yang sedemikian padat yang hanya terhimpun dalam satu kata dan hurufnya hanya ada tiga. Dan wajar pula bila Alloh SWT berkenan menjadi bahasa arab sebagai bahasa untuk firman-Nya yang abadi.
4. Al-Qur'an Harus Mudah Dibaca dan Dihafal
Sesuai dengan fungsi Al-Qur'an yang salah satunya sebagai pedoman hidup pada semua bidang kehidupan, Al-Qur'an harus berisi beragam materi dan informasi sesuai dengan beragam disiplin ilmu. Dan kita tahu bahasa dan istilah yang digunakan di setiap disiplin ilmu pasti berbeda-beda. Dan sangat boleh jadi seorang yang ahli di dalam sebuah disiplin ilmu akan menjadi sangat awam bila mendengar istilah-istilah yang ada di dalam disiplin ilmu lainnya.
Dan kalau beragam petunjuk yang mencakup beragama disiplin ilmu itu harus disatukan dalam sebuah kitab yang simpel, harus ada sebuah bahasa yang mudah, sederhana tapi tetap mengandung banyak informasi penting di dalamnya. Bahasa itu adalah bahasa Arab. Karena bahasa itu mampu mengungkapkan beragam informasi dari beragam disiplin ilmu, namun tetap cair dan mudah dimengerti. Dan saking mudahnya, bahkan bisa dihafalkan di luar kepala.
Salah satu karakteristik bahasa Arab adalah mudah untuk dihafalkan, bahkan penduduk gurun pasir yang tidak bisa baca tulis pun mampu menghafal jutaan bait syair. Dan karena mereka terbiasa menghafal apa saja di luar kepala, sampai-sampai mereka tidak terlalu butuh lagi dengan alat tulis atau dokumentasi. Kisah cerita yang tebalnya berjilid-jilid buku, bisa digubah oleh orang arab menjadi jutaan bait puisi dalam bahasa arab dan dihafal luar kepala dengan mudah. Barangkali fenomena ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tulis menulis kurang berkembang di kalangan bangsa arab saat itu. Buat apa menulis, kalau semua informasi bisa direkam di dalam otaknya?
Maka sangat wajar kalau Alloh SWT menjadikan bahasa arab sebagai bahasa Al-Qur'an.
5. Al-Qur'an Harus Indah dan Tidak Membosankan
Salah satu keunikan bahasa arab adalah keindahan sastranya tanpa kehilangan kekuatan materi kandungannya. Sedangkan bahasa lain hanya mampu salah satunya. Kalau bahasanya indah, kandungan isinya menjadi tidak terarah. Sebaliknya, kalau isinya informatif maka penyajiannya menjadi tidak asyik diucapkan.
Ada sebuah pintu perlintasan kereta api yang modern di Jakarta. Setiap kali ada kereta mau lewat, secara otomatis terdengar rekaman suara yang membacakan peraturan yang terkait dengan aturan perlintasan kereta. Awalnya, masyarakat senang mendengarkannya, tapi ketika setiap kali kereta mau lewat, suara itu terdengar lagi, maka orang-orang menjadi jenuh dan bosan. Bahkan mereka malah merasa terganggu dengan rekaman suara itu. Ada-ada saja komentar orang kalau mendengar rekaman itu berbunyi secara otomatis.
Tapi lihatlah surat Al-Fatihah, dibaca orang ribuan kali baik di dalam shalat atau di luar shalat, belum pernah ada orang yang merasa bosan atau terusik ketika diperdengarkan. Bahkan bacaan Al-Qur'an itu begitu sejuk di hati, indah dan menghanyutkan. Itu baru pendengar yang buta bahasa arab. Sedangkan pendengar yang mengerti bahasa arab, pasti ketagihan kalau mendengarnya.
Tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bisa tetap terdengar indah ketika dibacakan, namun tetap mengandung informasi kandungan yang kaya, kecuali bahasa arab. Maka wajarlah bila Alloh SWT berfirman dengan bahasa arab.

Apa yang kami sampaikan ini baru sebagai kecil dari sekian banyak hikmah diturunkannya Al-Qur'an dengan bahasa arab. Kita tidak tahu apa jadinya bila Al-Qur'an ini tidak berbahasa arab. Mungkin bisa jadi Al-Qur'an hanya ada di musium saja.

Dan jikalau Kami jadikan al-Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan, "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?.... (QS. Fushshilat: 44)
Wallohu a'lam bish-showab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Meraih Ketenangan Hati yang Hakiki

Seiring dengan makin jauhnya zaman dari masa kenabian shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka semakin banyak pula kesesatan dan bid’ah yang tersebar di tengah kaum muslimin[1], sehingga indahnya sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kebenaran makin asing dalam pandangan mereka. Bahkan lebih dari pada itu, mereka menganggap perbuatan-perbuatan bid’ah yang telah tersebar sebagai kebenaran yang tidak boleh ditinggalkan, dan sebaliknya jika ada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dihidupkan dan diamalkan kembali, mereka akan mengingkarinya dan memandangnya sebagai perbuatan buruk.

Sahabat yang mulia, Hudzaifah bin al-Yaman rahdiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan bermunculan (di akhir zaman)
sehingga kebenaran (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak lagi terlihat kecuali (sangat sedikit) seperti cahaya yang (tampak) dari celah kedua batu (yang sempit) ini. Demi Allah, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan tersebar (di tengah kaum muslimin), sampai-sampai jika sebagian dari perbuatan bid’ah tersebut ditinggalkan, orang-orang akan mengatakan: sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah ditinggalkan!”[2].

Keadaan ini semakin diperparah kerusakannya dengan keberadaan para tokoh penyeru bid’ah dan kesesatan, yang untuk mempromosikan dagangan bid’ah, mereka tidak segan-segan memberikan iming-iming janji keutamaan dan pahala besar bagi orang-orang yang mengamalkan ajaran bid’ah tersebut.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau pada saat ini tidak sedikit kaum muslimin yang terpengaruh dengan propaganda tersebut, sehingga banyak di antara mereka yang lebih giat dan semangat mengamalkan berbagai bentuk zikir, wirid maupun shalawat bid’ah yang diajarkan para tokoh tersebut daripada mempelajari dan mengerjakan amalan yang bersumber dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.

Tentu saja ini termasuk tipu daya setan untuk memalingkan manusia dari jalan Allah Ta’ala yang lurus. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” (QS al-An’aam:112).

Bahkan setan berusaha menghiasi perbuatan-perbuatan bid’ah dan sesat tersebut sehingga terlihat indah dan baik di mata manusia, dengan mengesankan bahwa dengan mengerjakan amalan bid’ah tersebut hati menjadi tenang dan semua kesusahan yang dihadapi akan teratasi (??!!). Pernyataan-pernyataan seperti ini sangat sering terdengar dari para pengikut ajaran-ajaran bid’ah tersebut, sebagai bukti kuatnya cengkraman tipu daya setan dalam diri mereka. Allah Ta’ala berfirman,

“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Faathir:8).

Sumber Ketenangan dan Penghilang Kesusahan yang Hakiki

Setiap orang yang beriman kepada Allah Ta’ala wajib meyakini bahwa sumber ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang hakiki adalah dengan berzikir kepada kepada Allah Ta’ala, membaca al-Qur’an, berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang maha Indah, dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS ar-Ra’du:28).

Artinya: dengan berzikir kepada Allah Ta’ala segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan[3].

Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi berzikir kepada Allah Ta’ala[4].

Salah seorang ulama salaf berkata, “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”. Maka ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?” Ulama ini menjawab, “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya”[5].

Inilah makna ucapan yang masyhur dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – , “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti”[6].

Makna “surga di dunia” dalam ucapan beliau ini adalah kecintaan (yang utuh) dan ma’rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allah Ta’ala (dengan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan cara baik dan benar) serta selalu berzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan (mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan (kecintaan dan keridhaan) Allah Ta’ala satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya yang sekaligus merupakan qurratul ‘ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-orang yang mencintai dan mengenal Allah I[7].

Demikian pula jalan keluar dan penyelesaian terbaik dari semua masalah yang dihadapi seorang manusia adalah dengan bertakwa kepada Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya,

”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaaq:2-3).

Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah, serta menjauhi semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allah Ta’ala[8].

Dalam ayat berikutnya Allah berfirman,

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4).

Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[9].

Adapun semua bentuk zikir, wirid maupun shalawat yang tidak bersumber dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun banyak tersebar di masyarakat muslim, maka semua itu adalah amalan buruk dan tidak mungkin akan mendatangkan ketenangan yang hakiki bagi hati dan jiwa manusia, apalagi menjadi sumber penghilang kesusahan mereka. Karena semua perbuatan tersebut termasuk bid’ah[10] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka”[11].

Hanya amalan ibadah yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya, yang dengan itulah hati dan jiwa manusia akan merasakan ketenangan dan ketentraman.

Allah Ta’ala berfirman,

“Sungguh Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur-an) dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Ali ‘Imraan:164).

Makna firman-Nya “mensucikan (jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah I)[12].

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS Yuunus:57).

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perumpaan petunjuk dari Allah Ta’ala yang beliau bawa seperti hujan baik yang Allah Ta’ala turunkan dari langit, karena hujan yang turun akan menghidupkan dan menyegarkan tanah yang kering, sebagaimana petunjuk Allah Ta’ala akan menghidupkan dan menentramkan hati manusia. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…“[13].

Ketenangan Batin yang Palsu

Kalau ada yang berkata, Realitanya di lapangan banyak kita dapati orang-orang yang mengaku merasakan ketenangan dan ketentraman batin (?) setelah mengamalkan zikir-zikir, wirid-wirid dan shalawat-shalawat bid’ah lainnya.

Jawabannya: Kenyataan tersebut di atas tidak semua bisa diingkari, meskipun tidak semua juga bisa dibenarkan, karena tidak sedikit kebohongan yang dilakukan oleh para penggemar zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut untuk melariskan dagangan bid’ah mereka.

Kalaupun pada kenyataannya ada yang benar-benar merasakan hal tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah ketenangan batin yang palsu dan semu, karena berasal dari tipu daya setan dan tidak bersumber dari petunjuk Allah I. Bahkan ini termasuk perangkap setan dengan menghiasi amalan buruk agar telihat indah di mata manusia.

Allah Ta’ala berfirman,

“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Faathir:8).

Artinya: setan menghiasi perbuatan mereka yang buruk dan rusak, serta mengesankannya baik dalam pandangan mata mereka[14].

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” (QS al-An’aam:112).

Artinya: para setan menghiasi amalan-amalan buruk bagi manusia untuk menipu dan memperdaya mereka[15].

Demikianlah gambaran ketenangan batin palsu yang dirasakan oleh orang-orang yang mengamalkan zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah, yang pada hakekatnya bukan ketenangan batin, tapi merupakan tipu daya setan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah Ta’ala, dengan mengesankan pada mereka bahwa perbuatan-perbuatan tersebut baik dan mendatangkan ketentraman batin.

Bahkan sebagian mereka mengaku merasakan kekhusyuan hati yang mendalam ketika membaca zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut melebihi apa yang mereka rasakan ketika membaca dan mengamalkan zikir-zikir/wirid-wirid yang bersumber dari wahyu Allah Ta’ala.

Padahal semua ini justru merupakan bukti nyata kuatnya kedudukan dan tipu daya setan bersarang dalam diri mereka. Karena bagaimana mungkin setan akan membiarkan manusia merasakan ketenangan iman dan tidak membisikkan was-was dalam hatinya?

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah membuat perumpaan hal ini[16] dengan seorang pencuri yang ingin mengambil harta orang. Manakah yang akan selalu diintai dan didatangi oleh pencuri tersebut: rumah yang berisi harta dan perhiasan yang melimpah atau rumah yang kosong melompong bahkan telah rusak?

Jawabnya: jelas rumah pertama yang akan ditujunya, karena rumah itulah yang bisa dicuri harta bendanya. Adapun rumah yang pertama, maka akan “aman” dari gangguannya karena tidak ada hartanya, bahkan mungkin rumah tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan tempat tinggal dan sarangnya.

Demikinlah keadaan hati manusia, hati yang dipenuhi tauhid dan keimanan yang kokoh kepada Allah Ta’ala, karena selalu mengamalkan petunjuk-Nya, akan selalu diintai dan digoda setan untuk dicuri keimanannya, sebagaimana rumah yang berisi harta akan selalu diintai dan didatangi pencuri.

Oleh karena itu, dalam sebuah hadits shahih, ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membisikkan (dalam) diriku dengan sesuatu (yang buruk dari godaan setan), yang sungguh jika aku jatuh dari langit (ke bumi) lebih aku sukai dari pada mengucapkan/melakukan keburukan tersebut. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah maha besar, Allah maha besar, Allah maha besar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu daya setan menjadi was-was (bisikan dalam jiwa)”[17].

Dalam riwayat lain yang semakna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah (tanda) kemurnian iman”[18].

Dalam memahami hadits yang mulia ini ada dua pendapat dari para ulama:

- Penolakan dan kebencian orang tersebut terhadap keburukan yang dibisikkan oleh setan itulah tanda kemurnian iman dalam hatinya

- Adanya godaan dan bisikkan setan dalam jiwa manusia itulah tanda kemurnian iman, karena setan ingin merusak iman orang tersebut dengan godaannya[19].

Adapun hati yang rusak dan kosong dari keimanan karena jauh dari petunjuk Allah Ta’ala, maka hati yang gelap ini terkesan “tenang” dan “aman” dari godaan setan, karena hati ini telah dikuasai oleh setan, dan tidak mungkin “pencuri akan mengganggu dan merampok di sarangnya sendiri”.

Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika ada yang mengatakan kepada beliau, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi menyangka bahwa mereka tidak diganggu bisikan-bisikan (setan) dalam shalat mereka”. Abdullah bin ‘Abbas menjawab, “Apa yang dapat dikerjakan oleh setan pada hati yang telah hancur berantakan?”[20].

Nasehat dan Penutup

Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kaum muslimin untuk meyakini indahnya memahami dan mengamalkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang hanya dengan itulah seorang hamba bisa meraih kebahagiaan dan ketenangan jiwa yang hakiki dalam kehidupannya. Allah Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[21] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).

Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata, “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat (indah) hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang bahagia dan indah)…Maka kehidupan baik (bahagia) yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin”[22].

Sebagai penutup, akan kami kutip nasehat Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu yang berbunyi,

“Wahai saudarakau sesama muslim, waspada dan hindarilah (semua) bentuk zikir dan wirid bid’ah yang akan menjerumuskanmu ke dalam jurang syirik (menyekutukan Allah Ta’ala). Berkomitmenlah dengan zikir (wirid) yang bersumber dari (petunjuk) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berbicara bukan dengan landasan hawa nafsu, (melainkan dari wahyu Allah Ta’ala). Dengan mengikuti (petunjuk) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, (kita akan meraih) hidayah Allah Ta’ala dan keselamatan (di dunia dan akhirat). (Sebaliknya) dengan menyelisihi (petunjuk) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjadikan amal perbuatan kita tertolak (tidak diterima oleh Allah Ta’ala). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan (dalam agama Islam) yang tidak sesuai dengan petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak” (HSR Muslim)[23].

Kota Kendari, 23 Syawwal 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat ucapan imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “I’laamul muwaqqi’iin” (4/118).
[2] Dinukil oleh imam asy-Syaathibi dalam kitab “al-I’tishaam” (1/106 – Tahqiiq syaikh Salim al-Hilali).

[3] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 417).

[4] Ibid.

[5] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/72).

[6] Dinukil oleh murid beliau Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal 69).

[7] Lihat kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 69).

[8] Lihat penjelasan Ibnu Rajab al-Hambali dalam “Jaami’ul uluumi wal hikam” (hal. 197).

[9] Tafsir Ibnu Katsir (4/489).

[10] Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah r.

[11] HSR Muslim (no. 867), an-Nasa-i (no. 1578) dan Ibnu Majah (no. 45).

[12] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (1/267).

[13] HSR Al Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282).

[14] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 685).

[15] Lihat kitab “Ma’aalimut tanziil” (3/180).

[16] Dalam kitab beliau “al-Waabilush shayyib” (hal. 40-41).

[17] HR Ahmad (1/235) dan Abu Dawud (no. 5112).

[18] HSR Mualim (no. 132).

[19] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Fawaa-id” (hal. 174).

[20] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “al-Waabilush shayyib” (hal. 41).

[21] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).

[22] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).

[23] Kitab “fadha-ilush shalaati wassalaam” (hal. 49).

Source : http://islam-download.net/artikel-islami/meraih-ketenangan-hati-yang-hakiki.html

Keutamaan Shalat Dhuha

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah, Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada suri tauladan kita, Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang setia mengikutinya sampai datang hari kiamat, amin.

Para pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala, dalam edisi ini insya Allah akan kami uraikan perkara yang berkaitan dengan shalat Dhuha. Semoga sedikit yang disampaikan ini bisa menggugah hati kita untuk mau membiasakan diri melaksanakannya, amin.

DEFINISI DAN KEUTAMAANNYA
Dhuha secara bahasa artinya waktu terbitnya matahari atau naiknya matahari. Sedangkan menurut istilah ahli fiqih, dhuha adalah waktu antara naiknya matahari sampai menjelang zawal (tergelincir matahari). Jadi shalat Dhuha artinya shalat sunnah yang dilakukan pada waktu antara naiknya matahari sampai menjelang zawal.

Banyak hadist yang menjelaskan tentang keutamaan shalat Dhuha, diantaranya hadist dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Setiap ruas jari salah seorang di antara kalian wajib untuk disedekahi setiap hari. Maka setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, mengajak kepada kebaikan adalah sedekah, dan mencegah dari kemungkaran juga sedekah. Dan semua itu bisa tercukupi (setara) dengan dua raka’at yang dia lakukan di waktu Dhuha.”[1]

Dalam hadist yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Dalam tubuh manusia ada 360 ruas tulang. Maka wajib baginya setiap hari untuk menyedekahi atas masing-masing ruas tulang tadi dengan suatu sedekah.” Para sahabat bertanya, ‘Siapa yang mampu melakukannya, wahai Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dahak yang kamu lihat di dalam masjid lalu kami menimbunnya, atau sesuatu yang (mengganggu) kamu singkirkan dari jalan (termasuk sedekah), kemudian apabila kamu tidak mampu, maka dua raka’at di waktu Dhuha sudah mencukupi bagimu.” [2]

Dalam hadist yang lain dijelaskan :

“Shalatnya orang yang bertaubat adalah ketika anak unta mencari tempat yang teduh.” [3]

HUKUM SHALAT DHUHA

Ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat Dhuha :

1. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa shalat Dhuha hukumnya sunnah secara mutlak, dan sebaiknya seseorang bisa membiasakannya setiap hari. Mereka berdalil beberapa hadist, diantaranya :

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : “Kekasih saya (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah berwasiat kepada saya dengan tiga perkara : Puasa tiga hari dalam setiap bulan, shalat dua raka’at di waktu Dhuha, dan shalat Witir sebelum tidur.” [4]

Dan juga keumuman hadist yang menjelaskan keutamaan shalat dhuha, khususnya hadist yang menjelaskan bahwa shalat Dhuha bisa mengganti kewajiban sedekah atas setiap ruas tulang setiap harinya.

Dan juga keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dikerjakan secara berkelanjutan meskipun sedikit.” [5]

2. Disunnahkan dilakukan kadang-kadang, tidak terus menerus. Diantara dalil yang dipakai pendapat ini adalah :

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Dhuha sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak meninggalkannya. Dan beliau juga meninggalkan shalat Dhuha sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak mengerjakannya.” [6]


Fulan bin Jarud berkata kepada Anas radhiyallahu ‘anhu : “Apakah Nabi shalat Dhuha ?” Dia menjawab, “Saya tidak melihat beliau melakukan shalat Dhuha selain hari tersebut.” [7]

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : “Sungguh apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu amalan padahal beliau senang melakukannya, maka itu karena beliau khawatir manusia akan ikut melakukannya lalu diwajibkan atas meraka. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melaksanakan shalat Dhuha sama sekali, tapi aku sendiri sungguh melakukannya.” [8]

3. Tidak disunnahkan kecuali apabila ada sebabnya, seperti ketika seseorang luput shalat malam maka disunnahkan baginya untuk mengqadha’-nya diwaktu Dhuha. Diantara dalil yang menunjukkan pendapat ini :

a. Apa yang diceritakan Ummu Hani’ bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumahnya pada waktu Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan shalat delapan raka’at di waktu Dhuha.[9]

Mereka mengatakan :’Shalat delapan raka’at yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebabkan oleh Fathu Makkah, dan kebetulan dilakukan di waktu Dhuha’.

b. Kisah shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah ‘Itban bin Malik ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diundang datang ke rumahnya untuk melaksanakan shalat, yang akhirnya tempat shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dijadikan sebagai musholla (tempat shalat), dan shalat yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertepatan di waktu Dhuha.[10]

c. Aisyah radhiyallahu ‘anha menjelaskan ketika ditanya Abdullah bin Syaqiq : “Apakah RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Dhuha ?” maka dia menjawab, “Tidak, kecuali apabila beliauShallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari bepergian.”[11]

Dari tiga pendapat diatas, pendapat yang lebih mendekati kebenaran insya Allah pendapat yang pertama, yaitu disunnahkan shalat Dhuha secara mutlak, dan juga disunnahkan untuk dibiasakan setiap hari, berdasarkan keumuman hadist yang memberikan dorongan untuk melaksanakan shalat Dhuha. Terlebih lagi hadist yang menjelaskan bahwa shalat Dhuha bisa menggantikan 360 sedekah atas ruas tulang manusia yang setiap harinya wajid disedekahi.

Adapun berkaitan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau tidak membiasakannya setiap hari, maka ini bukan berarti shalat Dhuha tidak disyari’atkan. Sebab kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambukanlah merupakan syarat disyar’atkannya suatu amalan. Oleh karena itulah Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata :“Dan tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Dhuha sama sekali, tapi aku sendiri benar-benar melakukannya.”[12]

WAKTU DAN JUMLAH RAKA’AT

Waktu shalat Dhuha diawali sejak naiknya matahari, yaitu sekitar ¼ jam setelah munculnya matahari sampai menjelang zawal (tergelincirnya matahari), selagi belum masuk waktu terlarang untuk shalat. Dan sebaiknya seseorang yang ingin melaksanakan shalat Dhuha agar mengakhirkan waktunya sampai sengatan terik matahari terasa panas, berdasarkan hadist Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Shalatnya orang-orang yang bertaubat adalah ketika anak unta mencari tempat yang teduh.” Dan ini biasanya terjadi menjelang zawal.

Shalat Dhuha minimalnya dua raka’at, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. Hal ini berdasarkan hadist yang disampaikan di muka : “Dan semua itu bisa tercukupi (setara) dengan dua raka’at yang di lakukan di waktu Dhuha.”[13] dan juga berdasarkan wasiatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu untuk tidak meninggalkan dua raka’at di waktu Dhuha.

Namun mereka berselisih pendapat tentang batas maksimalnya. Ada yang berpendapat maksimal adalah delapan raka’at, berdasarkan hadist dari Abdurrahman bin Abin Laila radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Tidak ada seorang pun yang mengabarkan kepada saya bahwasanya dia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Dhuha kecuali Ummu Hani’. Sesungguhnya dia menceritakan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumahnya pada waktu Fathu Makkah, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat delapan raka’at [14]

Dan ada yang berpendapat maksimalnya dua belas raka’at, berdasarkan hadist dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa shalat Dhuha dua belas raka’at, maka Allah akan membangunkan istana untuknya di surga kelak.”[15]

Dan diantara mereka ada yang berpendapat tidak ada batas maksimalnya. Dan inilah pendapat yang lebih benarinsya Allah, berdasarkan hadist dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Dhuha empat raka’at dan beliau menambah (jumlah raka’atnya) sesuai kehendak Allah.” [16]

Adapun penjelasan Ummu Hani’ bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat delapan raka’at pada saatFathu Makkah, maka sebagian ulama menjelaskan bahwa shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamwaktu itu adalah shalat Fath, bukan shalat Dhuha. Anggaplah shalat itu adalah shalat Dhuha, maka jumlah delapan raka’at yang dilakukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak menunjukkan pembatasan, tapi merupakan kejadian tertentu atau kebetulan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalatnya delapan raka’at.

Wallahu a’lam bish shawab

Source : http://islam-download.net/artikel-islami/keutamaan-shalat-dhuha.html

Meluruskan Pemahaman Tentang Bid’ah

“Dikit-dikit bid’ah, dikit-dikit bid’ah,” “apa semua yang ada sekarang itu bid’ah?!” “kalau memang maulidan bid’ah, kenapa kamu naik motor, itukan juga bid’ah.” Kira-kira kalimat seperti inilah yang akan terlontar dari mulut sebagian kaum muslimin ketika mereka diingatkan bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah bid’ah yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua ucapan ini dan yang senada dengannya lahir, mungkin karena hawa nafsu mereka dan mungkin juga karena kejahilan mereka tentang definisi bid’ah, batasannya dan nasib jelek yang akan menimpa pelakunya.

Karenanya berikut uraian tentang difinisi bid’ah dan bahayanya dari hadits Aisyah yang masyhur, semoga bisa meluruskan pemahaman kaum muslimin tentang bid’ah sehingga mereka mau meninggalkannya di atas ilmu, Allahumma amin.
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

“Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.

Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak”.

Takhrij Hadits:

Hadits ini dengan kedua lafadznya berasal dari hadits shahabiyah dan istri Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam ‘A`isyah radhiallahu Ta’ala ‘anha.

Adapun lafadz pertama diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (2/959/2550-Dar Ibnu Katsir) dan Imam Muslim (3/1343/1718-Dar Ihya`ut Turots).

Dan lafadz kedua diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari secara mu’allaq (2/753/2035) dan (6/2675/6918) dan Imam Muslim (3/1343/1718).

Dan juga hadits ini telah dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya (4594) dan Abu ‘Awanah (4/18) dengan sanad yang shohih dengan lafadz, “Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang tidak ada di dalamnya (urusan kami) maka dia tertolak”.

Kosa Kata Hadits:

1. “Dalam urusan kami”, maksudnya dalam agama kami, sebagaimana dalam firman Allah –Ta’ala-, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi urusannya (Nabi) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.”. (QS. An-Nur: 63)

2. “Tertolak”, (Arab: roddun) yakni tertolak dan tidak teranggap.

[Lihat Bahjatun Nazhirin hal. 254 dan Syarhul Arba’in karya Syaikh Sholih Alu Asy-Syaikh]

Komentar Para Ulama :

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Pondasi Islam dibangun di atas 3 hadits: Hadits “setiap amalan tergantung dengan niat”, hadits ‘A`isyah “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak” dan hadits An-Nu’man “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas””.

Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata, “Ada empat hadits yang merupakan pondasi agama: Hadits ‘Umar “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah dengan niatnya”, hadits “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas”, hadits “Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kalian dikumpulkan dalam perut ibunya selam 40 hari” dan hadits “Barangsiapa yang berbuat dalam urusan kami apa-apa yang bukan darinya maka hal itu tertolak”.

Dan Abu ‘Ubaid rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan seluruh urusan akhirat dalam satu ucapan (yaitu) “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.

[Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam syarh hadits pertama]

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, “Hadits ini adalah asas yang sangat agung dari asas-asas Islam, sebagaimana hadits “Setiap amalan hanyalah dengan niatnya” adalah parameter amalan secara batin maka demikian pula dia (hadits ini) adalah parameternya secara zhohir. Maka jika setiap amalan yang tidak diharapkan dengannya wajah Allah –Ta’ala-, tidak ada pahala bagi pelakunya, maka demikian pula setiap amalan yang tidak berada di atas perintah Allah dan RasulNya maka amalannya tertolak atas pelakunya. Dan setiap perkara yang dimunculkan dalam agama yang tidak pernah diizinkan oleh Allah dan RasulNya, maka dia bukan termasuk dari agama sama sekali”.

Syaikh Salim Al-Hilaly hafizhohullah berkata dalam Bahjatun Nazhirin, “Hadits ini termasuk hadits-hadits yang Islam berputar di atasnya, maka wajib untuk menghafal dan menyebarkannya, karena dia adalah kaidah yang agung dalam membatalkan semua perkara baru dan bid’ah (dalam agama)”.

Dan beliau juga berkata, “… maka hadits ini adalah asal dalam membatalkan pembagian bid’ah menjadi sayyi`ah (buruk) dan hasanah (terpuji)”.

Dan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhohullah berkata dalam Syarhul Arba’in, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung dan diagungkan oleh para ulama, dan mereka mengatakan bahwa hadits ini adalah asal untuk membantah semua perkara baru, bid’ah dan aturan yang menyelisihi syari’at”.

Dan beliau juga berkata dalam mensyarh kitab Fadhlul Islam karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, “Hadits ini dengan kedua lafadznya merupakan hujjah dan pokok yang sangat agung dalam membantah seluruh bid’ah dengan berbagai jenisnya, dan masing-masing dari dua lafadz ini adalah hujjah pada babnya masing-masing, yaitu:

a. Lafadz yang pertama (ancamannya) mencakup orang yang pertama kali mencetuskan bid’ah tersebut walaupun dia sendiri tidak beramal dengannya.

b. Adapun lafadz kedua (ancamannya) mencakup semua orang yang mengamalkan bid’ah tersebut walaupun bukan dia pencetus bid’ah itu pertama kali”. Selesai dengan beberapa perubahan.

Syarh :

Setelah membaca komentar para ulama berkenaan dengan hadits ini, maka kita bisa mengatahui bahwa hadits ini dengan seluruh lafazhya merupakan ancaman bagi setiap pelaku bid’ah serta menunjukkan bahwa setiap bid’ah adalah tertolak dan tercela, tidak ada yang merupakan kebaikan. Dua pont inilah yang –insya Allah- kita akan bahas panjang lebar, akan tetapi sebelumnya kita perlu mengetahui definisi dari bid’ah itu sendiri agar permasalahan menjadi tambah jelas. Maka kami katakan:

A. Definisi Bid’ah.

Bid’ah secara bahasa artinya memunculkan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya, sebagaimana dalam firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala-:

“Allah membuat bid’ah terhadap langit dan bumi”.(QS. Al-Baqarah: 117 dan Al-An’am: 101)

Yakni Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya yang mendahului. Dan Allah -‘Azza wa Jalla- berfirman :

“Katakanlah: “Aku bukanlah bid’ah dari para Rasul”. (QS. Al-Ahqaf: 9)

Yakni : Saya bukanlah orang pertama yang datang dengan membawa risalah dari Allah kepada para hamba, akan tetapi telah mendahului saya banyak dari para Rasul. Lihat: Lisanul ‘Arab (9/351-352)

Adapun secara istilah syari’at –dan definisi inilah yang dimaksudkan dalam nash-nash syari’at- bid’ah adalah sebagaimana yang didefinisikan oleh Al-Imam Asy-Syathiby dalam kitab Al-I’tishom (1/50):

“Bid’ah adalah suatu ungkapan untuk semua jalan/cara dalam agama yang diada-adakan, menyerupai syari’at dan dimaksudkan dalam pelaksanaannya untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanah”.

Penjelasan Definisi.

Setelah Imam Asy-Syathiby rahimahullah menyebutkan definisi di atas, beliau kemudian mengurai dan menjelaskan maksud dari definisi tersebut, yang kesimpulannya sebagai berikut:

1. Perkataan beliau “jalan/cara dalam agama”. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam:

“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘A`isyah)

Dan urusan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tentunya adalah urusan agama karena pada urusan dunia beliau telah mengembalikannya kepada masing-masing orang, dalam sabdanya:

“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. (HSR. Bukhory)

Maka bid’ah adalah memunculkan perkara baru dalam agama dan tidak termasuk dari bid’ah apa-apa yang dimunculkan berupa perkara baru yang tidak diinginkannya dengannya masalah agama akan tetapi dimaksudkan dengannya untuk mewujudkan maslahat keduniaan, seperti pembangunan gedung-gedung, pembuatan alat-alat modern, berbagai jenis kendaraan dan berbagai macam bentuk pekerjaan yang semua hal ini tidak pernah ada zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Maka semua perkara ini bukanlah bid’ah dalam tinjauan syari’at walaupun dianggap bid’ah dari sisi bahasa. Adapun hukum bid’ah dalam perkara kedunian (secara bahasa) maka tidak termasuk dalam larangan berbuat bid’ah dalam hadits di atas, oleh karena itulah para Shahabat radhiallahu ‘anhum mereka berluas-luasan dalam perkara dunia sesuai dengan maslahat yang dibutuhkan.

2. Perkatan beliau “yang diada-adakan”, yaitu sesungguhnya bid’ah adalah amalan yang tidak mempunyai landasan dalam syari’at yang menunjukkan atasnya sama sekali. Adapun amalan-amalan yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syari’at secara umum –walaupun tidak ada dalil tentang amalan itu secara khusus- maka bukanlah bid’ah dalam agama. Misalnya alat-alat tempur modern yang dimaksudkan sebagai persiapan memerangi orang-orang kafir , demikian pula ilmu-ilmu wasilah dalam agama ; seperti ilmu bahasa Arab (Nahwu Shorf dan selainnya) , ilmu tajwid , ilmu mustholahul hadits dan selainnya, demikian pula dengan pengumpulan mushaf di zaman Abu Bakar dan ‘Utsman radhiallahu ‘anhuma . Maka semua perkara ini bukanlah bid’ah karena semuanya masuk ke dalam kaidah-kaidah syari’at secara umum.

3. Perkataan beliau “menyerupai syari’at”, yaitu bahwa bid’ah itu menyerupai cara-cara syari’at padahal hakikatnya tidak demikian, bahkan bid’ah bertolak belakang dengan syari’at dari beberapa sisi:

a. Meletakkan batasan-batasan tanpa dalil, seperti orang yang bernadzar untuk berpuasa dalam keadaan berdiri dan tidak akan duduk atau membatasi diri dengan hanya memakan makanan atau memakai pakaian tertentu.

b. Komitmen dengan kaifiat-kaifiat atau metode-metode tertentu yang tidak ada dalam agama, seperti berdzikir secara berjama’ah, menjadikan hari lahir Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam sebagai hari raya dan yang semisalnya.

c. Komitmen dengan ibadah-ibadah tertentu pada waktu-waktu tertentu yang penentuan hal tersebut tidak ada di dalam syari’at, seperti komitmen untuk berpuasa pada pertengahan bulan Sya’ban dan sholat di malam harinya.

4. Perkataan beliau “dimaksudkan dalam pelaksanaannya untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanah”. Ini merupakan kesempurnaan dari definisi bid’ah, karena inilah maksud diadakannya bid’ah. Hal itu karena asal masuknya seseorang ke dalam bid’ah adalah adanya dorongan untuk konsentrasi dalam ibadah dan adanya targhib (motivasi berupa pahala) terhadapnya karena Allah -Ta’ala- berfirman:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Maka seakan-akan mubtadi’ (pelaku bid’ah) ini menganggap bahwa inilah maksud yang diinginkan (dengan bid’ahnya) dan tidak belum jelas baginya bahwa apa yang diletakkan oleh pembuat syari’at (Allah dan RasulNya) dalam perkara ini berupa aturan-atiran dan batasan-batasan sudah mencukupi.

B. Dalil-Dalil Akan Tercelanya Bid’ah Serta Akibat Buruk yang Akan Didapatkan Oleh Pelakunya.

1. Bid’ah merupakan sebab perpecahan.

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang Dia diwasiatkan kepada kalian agar kalian bertakwa”. (QS. Al-An’am: 153)

Berkata Mujahid rahimahullah dalam menafsirkan makna “jalan-jalan” : “Bid’ah-bid’ah dan syahwat”. (Riwayat Ad-Darimy no. 203)

2. Bid’ah adalah kesesatan dan mengantarkan pelakunya ke dalam Jahannam.

Allah -’Azza wa Jalla- berfirman:

“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).”. (QS. An-Nahl: 9)

Berkata At-Tastury : “’Qosdhus sabil’ adalah jalan sunnah ‘di antaranya ada yang bengkok’ yakni bengkok ke Neraka yaitu agama-agama yang batil dan bid’ah-bid’ah”.

Maka bid’ah mengantarkan para pelakunya ke dalan Neraka, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam khutbatul hajah:

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HSR. Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhuma)

Dalam satu riwayat, “Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah”.

Dan dalam riwayat An-Nasa`iy, “Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan semua kesesatan berada dalam Neraka”.

Dan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah secara marfu’:

“Dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy)

3. Bid’ah itu tertolak atas pelakunya siapapun orangnya.

Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali ‘Imran: 85)

Dan bid’ah sama sekali bukan bahagian dari Islam sedikitpun juga, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits yang sedang kita bahas sekarang.

4. Allah melaknat para pelaku bid’ah dan orang yang melindungi/menolong pelaku bid’ah.

Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menegaskan:

“Barangsiapa yang memunculkan/mengamalkan bid’ah atau melindungi pelaku bid’ah, maka atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia, tidak akan diterima dari tebusan dan tidak pula pemalingan”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘Ali dan HSR. Muslim dari Anas bin Malik)

5. Para pelaku bid’ah jarang diberikan taufiq untuk bertaubat –nas`alullaha as-salamata wal ‘afiyah-.

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengahalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan bid’ahnya”. (HR. Ath-Thobarony dan Ibnu Abi ‘Ashim dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 1620)

Berkata Syaikh Bin Baz ketika ditanya tentang makna hadits di sela-sela pelajaran beliau mensyarah kitab Fadhlul Islam, “… Maknanya adalah bahwa dia (pelaku bid’ah ini) menganggap baik bid’ahnya dan menganggap dirinya di atas kebenaran, oleh karena itulah kebanyakannya dia mati di atas bid’ah tersebut –wal’iyadzu billah-, karena dia menganggap dirinya benar. Berbeda halnya dengan pelaku maksiat yang dia mengetahui bahwa dirinya salah, lalu dia bertaubat, maka kadang Allah menerima taubatnya”.

6. Para pelaku bid’ah akan menanggung dosanya dan dosa setiap orang yang dia telah sesatkan sampai hari Kiamat –wal’iyadzu billah-.

Allah-Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

“(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”. (QS. An-Nahl: 25)

Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:

“Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka atasnya dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun”. (HSR. Muslim dari Abu Hurairah)

7. Setiap pelaku bid’ah akan diusir dari telaga Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

Beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

“Saya menunggu kalian di telagaku, akan didatangkan sekelompok orang dari kalian kemudian mereka akan diusir dariku, maka sayapun berkata : “Wahai Tuhanku, (mereka adalah) para shahabatku”, maka dikatakan kepadaku : “Engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan setelah kematianmu”. (HSR. Bukhary-Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)

8. Para pelaku bid’ah menuduh Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah berkhianat dalam menyampaikan agama karena ternyata masih ada kebaikan yang belum beliau tuntunkan.

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata -sebagaimana dalam kitab Al-I’tishom (1/64-65) karya Imam Asy-Syathiby rahimahullah-, “Siapa saja yang membuat satu bid’ah dalam Islam yang dia menganggapnya sebagai suatu kebaikan maka sungguh dia telah menyangka bahwa Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian”. (QS. Al-Ma`idah: 3)

Maka perkara apa saja yang pada hari itu bukan agama maka pada hari inipun bukan agama”.

9. Dalam bid’ah ada penentangan kepada Al-Qur`an.

Al-Imam Asy-Syaukany rahimahullah berkata dalam kitab Al-Qaulul Mufid fii Adillatil Ijtihad wat Taqlid (hal. 38) setelah menyebutkan ayat dalam surah Al-Ma`idah di atas, “Maka bila Allah telah menyempurnakan agamanya sebelum Dia mewafatkan NabiNya, maka apakah (artinya) pendapat-pendapat ini yang di munculkan oleh para pemikirnya setelah Allah menyempurnakan agamanya?!. Jika pendapat-pendapat (bid’ah ini) bahagian dari agama –menurut keyakinan mereka- maka berarti Allah belum menyempurnakan agamanya kecuali dengan pendapat-pendapat mereka, dan jika pendapat-pendapat ini bukan bahagian dari agama maka apakah faidah dari menyibukkan diri pada suatu perkara yang bukan bahagaian dari agama ?!”.

10. Para pelaku bid’ah akan mendapatkan kehinaan dan kemurkaan dari Allah Ta’ala di dunia.

Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:

“Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kedustaan”. (QS. Al-A’raf: 152)

Ayat ini umum, mencakup mereka para penyembah anak sapi dan yang menyerupai mereka dari kalangan ahli bid’ah, karena bid’ah itu seluruhnya adalah kedustaan atas nama Allah Ta’ala, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah.

{Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah (1/89-92), Al-I’tishom (1/50-53 dan 61-119) dan Al-Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnah (25-35)}

Source : http://islam-download.net