Wednesday, October 26, 2011

Perilaku-perilaku perusak amal saleh


Amal saleh itu dapat meningkatkan iman kita hingga dekat dengan Allah kalau kita lakukan dengan ikhlas (semata-mata karena Allah), karena ikhlas merupakan syarat diterimanya amal.
Rasulullah saw. Bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ. رواه النسائى
Allah tidak menerima amalan, melainkan amalan yang khalis untuk-Nya dan yang dituntut dengannya keridaan Allah. (H.R.Nasaa'i).

Kalau kita menginginkan keikhlasan dengan mudah ketika beramal, hendaklah kita menempatkan diri pada kedudukan yang tidak membuat diri kita menjadi tersohor. Kalau kita beramal demi untuk mencari kemashuran, maka sia-sialah amal kita.
Kita dilarang Allah merusakkan amal sendiri dengan perilaku kufur, karena kufur dapat meleyapkan pahala amal saleh.
Selain perilaku kufur, perilaku lain yang dapat merusakkan amal saleh antara lain:
1. Amal yang disertai riya', yaitu melakukan sesuatu amal tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat.
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ لِى عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ غَيْرِى فَأَنَا مِنْهُ بَرِىءٌ وَهُوَ لِلَّذِى أَشْرَكَ . رواه ابن ماجه
Allah swt. berfirman: Aku (Allah) yang paling tidak perlu kepada sekutu; maka barangsiapa beramal sesuatu amalan, yang Aku dipersekutukan dengan selain-Ku, maka Aku terlepas daripada persekutuan itu dan amal yang dikerjakan itu bagi Dia yang Ia persekutukan. (H.Q.R.Ibnu Majah)

2. Amal yang disertai nifaq, yaitu amalan yang dilakukan semata-mata supaya dilihat orang dan batin/hati yang beramal tidak membenarkan amalan itu.
Allah swt. berfirman:

يَقُولُونَ بِأَفْواهِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ
Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. (Q.S.Ali Imran:167).

3. Amal yang sisertai sum'ah, yaitu amalan yang diceritakan atau diperdengarkan kepada orang lain supaya orang lain simpati, memberikan perhatian, dan keistimewaan.
Rasulullah saw. Bersabda:
مَنْ سَمَعَ سَمَعَ اللهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللهُ بِهِ. رواه البخارى
Barangsiapa memperdengarkan jasa-jasanya, niscaya Allah memperdengarkan keburukan-keburukannya, dan barangsiapa memperlihat-lihatkan kebaikan-kebaikannya, niscaya Allah memperlihatkan kejelekan-kejelekannya. (H.R.Bukhari dan Muslim)

4. Amal yang disertai ujub (berbagga diri dengan amal yang dilakukan).
Amal saleh kita akan rusak manakala kita berperasan bahwa salat kita, puasa kita, zakat dan sedekah kita, tilawat Al-Qur'an kita, wirid kita, dzikir kita, dan do'a kita itu sudah cukup untuk melepaskan kita dari hukuman (adzab) Allah dan menutup segala dosa-dosa yang pernah kita lakukan. Lantaran itu kita merasa tidak akan memberatkan diri, bila kita mendengki, mendendam, mengumpat, dan menyakiti orang lain. Padahal kesalahan-kesalah (dosa-dosa) itu dapat meleyapkan segala amal saleh yang kita lakukan.
Rasulullah saw. Bersabda:
ثَلاثٌ مُهْلِكَاتٌ شُحٌّ مُطَاعٌ ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بنفْسِهِ .رواه الطبراني
Tiga perkara yang membinasakan, pertama, perangai kikir yang ditaati; kedua, hawa nafsu yang diikuti; ketiga, 'ujub kepada diri. (H.R.Tabrani).

5. Amal yang disertai takabur, (membangga-banggakan amal)
Bila kita punya perasaan bahwa amal saleh yang kita lakukan itu lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan amal saleh yang dilakukan oleh orang lain, maka rusaklah amal saleh kita.
Pernahkan kita punya perasan bahwa salat kita lebih benar, puasa kita lebih sempurna, zakat dan sedekah kita lebih banyak, tilawat Al-Qur'an kita lebih tartil dan lebih bagus, wirid kita lebih banyak dan lain sebagainya. Jika pernah! Buang jauh-jauh dan jangan sampai terulang lagi, karena perasaan itu merupakan sifat takabur yang dapat melenyapkan pahala amal saleh kita.

Perlu diketahui! Bila di dalam jiwa kita bersemi penyakit ujub (berbangga diri) maka tumbuhlah dalam jiwa kita penyakit takabur (merasa besar diri). Apabila rasa takabur itu muncul dari berbagai gerak dan kelakuhan kita, maka kita disebut orang-orang mukhtal (sombong).
Apabila rasa takabur itu muncul dari ucapan-ucapan kita, maka kita disebut fakhur (membangga-banggakan diri).
Orang yang mukhtal dan fakhur, semuanya dibenci oleh Allah. Sebagaimana firman-Nya: Sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (Q.S.An-Nisaa':36)

Sebagai orang beriman, kita diperintah untuk ta’at kepada Allah dan ta’at kepada Rasul-Nya. Kita dilarang merusakkan pahala amal kita dengan perilaku sebagaimana di atas. Oleh karena itu jangan sia-siakan ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan berbagai macam dosa-dosa (maksiat).
Allah swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu. (Q.S.Muhammad:33).

Mudah-mudahan kita tidak termasuk orang-orang yang merusakkan amal salehnya sendiri.

Bersyukur atas Nikmat Allah


Hadits Arba’in Nomor 26, Bagian Kedua
Di antara kandungan hadits Rasulullah saw dalam kitab Arba'in Nawawiyyah yang ke-26 ini adalah pelajaran kepada manusia untuk mensyukuri nikmat Allah swt yang sangat melimpah dan tidak dapat dihitung.
Sebab, hadits Arba'in ini bisa dimaknai atau dipahami, “diciptakan oleh Allah terdiri dari banyak ruas, semuanya ada tiga ratus enam puluh (360) ruas. Setiap ruas ini mencerminkan kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia. Oleh karena itu, setiap ruas ini diperintahkan untuk bersedekah, sebab atas nama setiap ruas ini merupakan ekspresi dan bentuk syukur manusia kepada Allah.” (lihat Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jami' al-Ulum wa al-Hikam saat menjelaskan hadits ini).
Kewajiban manusia untuk mensyukuri nikmat penciptaan manusia yang terdiri dari susunan ruas-ruas dan organ-organ ini telah diisyaratkan dalam QS Al-Infithar: 6-8, QS Al-Mulk: 23, QS An-Nahl: 78, QS Al-Balad: 8-9. Kewajiban manusia untuk mensyukuri nikmat penciptaan manusia yang terdiri dari susunan ruas-ruas dan organ-organ ini telah diisyaratkan dalam QS Al-Infithar: 6-8, QS Al-Mulk: 23, QS An-Nahl: 78, QS Al-Balad: 8-9.
Diceritakan bahwa pada suatu malam seorang ulama bernama al-Fudhail bin 'Iyadh membaca Al-Qur'an surat Al-Balad ayat 8 sampai 9 ini, lalu ia menangis. Maka orang-orang yang melihatnya menanyakan apa yang membuatnya menangis? Ia menjelaskan, "Tidakkah engkau memasuki malam harimu dalam keadaan bersyukur kepada Allah swt yang telah memberikan dua mata kepadamu dan dengan dua mata ini engkau dapat melihat? Tidakkah engkau memasuki malam harimu dalam keadaan bersyukur kepada Allah swt yang telah menjadikan untukmu satu lidah yang dengannya engkau dapat berbicara?" Fudhail terus menerus menyebutkan organ-organ seperti ini dengan mengajukan pertanyaan retoris yang sama.

Kenikmatan yang terlupakan
Sebagai penegas terhadap keharusan untuk mensyukuri nikmat Allah ini, Rasulullah bersabda, “Ada dua kenikmatan, banyak manusia menjadi merugi gara-gara dua kenikmatan ini, yaitu; nikmat kesehatan dan nikmat waktu luang.” (HR Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits no. 6412).
Bukankah semua ruas tulang belulang manusia merupakan wujud dari kesehatan yang Allah swt berikan itu? Namun, sayangnya, sebagaimana tersebut dalam hadits, banyak manusia melupakannya sehingga mereka menjadi merugi karena tidak mensyukurinya.

Pertanggungjawaban untuk setiap kenikmatan
Semua kenikmatan yang Allah swt berikan kepada manusia akan dimintai pertanggungjawabannya. Termasuk kenikmatan yang berupa 360 ruas tulang belulangnya. Caranya adalah dengan menunaikan hak dan kewajiban setiap ruas tulang belulang tersebut untuk bersedekah, sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan yang lalu.
Hal ini sejalan dengan QS At-Takatsur: 8 yang menegaskan bahwa manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala bentuk kenikmatan yang telah diterimanya. Sejalan pula dengan QS Al-Isra':36 yang menegaskan bahwa pendengaran, penglihatan dan hati itu akan dimintai pertanggungjawaban.

Cara mensyukuri nikmat Allah
Ada banyak cara yang dapat dilakukan manusia untuk mensyukuri nikmat Allah swt. Secara garis besar, mensyukuri nikmat ini dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
Mensyukuri dengan hati, dengan mengakui, mengimani dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan ini datangnya dari Allah swt semata.
Mensyukuri dengan lisan, dengan memperbanyak ucapan alhamdulillah (segala puji milik Allah) wasysyukru lillah (dan segala bentuk syukur juga milik Allah).
Mensyukuri dengan perbuatan.
Mempergunakan segala bentuk kenikmatan Allah untuk menunaikan perintah-perintah Allah, baik perintah wajib, sunnah maupun mubah.
Mempergunakan segala bentuk kenikmatan Allah dengan cara menghindari, menjauhi dan meninggalkan segala bentuk larangan Allah, baik larangan yang haram maupun yang makruh.
Syukur dengan hati, lisan dan perbuatan ini hendaklah terefleksi dan tercermin pada setiap momentum yang bersifat zhahir, bahkan yang tersamar sekalipun. Contoh cerminan sikap mensyukuri nikmat Allah yang tampak secara lahir ini dapat dilihat dalam sikap Nabi Sulaiman as saat ia mendapati singgasana Bilqis telah ada di sampingnya dalam sekejap mata. Saat itu Nabi Sulaiman langsung berkata, "Ini adalah anugerah Allah. Dia bermaksud mengujiku, adakah aku bersyukur ataukah aku kufur." (QS An-Naml: 40)
Juga tampak dari sikap Raja Dzulqarnain yang sukses membangun radm (semacam benteng) untuk menghalau serbuan Ya'juj Ma'juj. Setelah sukses besar yang luar biasa ini, ia tidak menisbatkan prestasi spektakulernya itu kepada dirinya, akan tetapi menisbatkannya kepada Allah. Ia berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku." (QS Al-Kahfi: 98)
Sikap yang sebaliknya ditunjukkan oleh Qarun. Saat ia ditanya oleh kaumnya tentang sukses bisnisnya, ia tidak menisbatkan sukses itu kepada Allah. Dengan penuh 'ujub, sombong dan takabbur ia berkata, "Semua ini aku dapatkan semata-mata karena ilmuku, kepintaranku, kepiawaianku" (QS Al-Qashash: 78). Karena itulah ia diazab Allah.

Nikmat Allah terlalu banyak
Jumlah kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia begitu banyaknya, dan sekiranya manusia bermaksud menghitungnya, niscaya ia tidak akan mampu melakukannya, sebagaimana QS Ibrahim: 34 dan QS An-Nahl: 18.
Jika kenikmatan sangat banyak dan manusia tidak akan mampu menghitungnya, lalu bagaimana kita harus mensyukuri seluruhnya?
Memang demikianlah adanya, yaitu bahwa manusia tidak akan mampu mensyukuri seluruh nikmat yang Allah berikan kepada manusia. Oleh karena itu, jangan ada perasaan, apalagi keyakinan bahwa manusia akan mampu mengimbangi seluruh kenikmatan Allah dengan mensyukurinya. Dengan demikian, manusia akan terus berusaha untuk secara terus menerus mensyukurinya.
Inilah yang dilakukan Rasulullah saw. Beliau terus melakukan shalat malam yang panjang dan sangat baik, sehingga telapak kaki beliau bengkak-bengkak. Saat 'Aisyah ra bertanya, “Bukankah dosa engkau yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni oleh Allah?" Maka beliau saw menjawab, "Tidakkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?" (HR Muslim, no 2819).
Namun, perasaan bahwa manusia tidak akan mampu mensyukuri nikmat Allah, bisa menjadi kontraproduktif. Ini akan menjadikan manusia frustrasi dan putus asa untuk dapat mensyukuri nikmat Allah dan sikap ini tentunya tidak dibenarkan oleh Islam. Oleh karena itu, ada dua cara yang ditawarkan Rasulullah dalam hal ini, yaitu:
Setiap hari hendaklah manusia menunaikan shalat Dhuha. Terkait hal ini beliau bersabda, "Semua itu cukup tergantikan dengan dua rakaat Dhuha” (HR Muslim, hadits no. 720). Maksudnya, shalat Dhuha bernilai cukup untuk menggantikan kewajiban setiap ruas tulang belulang manusia dalam menunaikan kewajibannya untuk bersyukur.
Hendaklah seorang manusia merutinkan membaca dzikir pagi dan sore dengan bacaan sebagai berikut: Allahumma ma ashbaha bi (kalau sore membaca: Allahumma ma amsa bi) min ni'matin auw bi ahadin min khalqika faminka wahdaka la syarika laka, falakal hamdu walakasy-syukru. Yang artinya "Ya Allah, kenikmatan apa saja yang engkau berikan kepadaku pada pagi hari ini, atau pada sore hari ini, atau yang engkau berikan kepada siapa pun dari makhluk-Mu, maka semua itu adalah dari-Mu semata, tidak ada sekutu bagi-Mu, maka, untuk-Mu segala puji dan untuk-Mu pula segala syukur."
Rasulullah menjelaskan bahwa siapa saja yang pada pagi harinya membaca dzikir tersebut, maka ia telah menunaikan syukurnya pada hari itu. Dan siapa saja yang membaca dzikir tersebut pada sore harinya, maka ia telah menunaikan syukurnya pada malam hari itu. (HR Abu Daud, An-Nasa-i, menurut Imam Nawawi, hadits ini Isnad hadits ini bagus dan Abu Daud tidak mendha'ifkannya. Namun menurut Syekh Nashiruddin al-Albani hadits ini dha'if)
Syekh Abul Hasan Ubaidullah al-Mubarakfuri berkata dengan mengutip dari Imam Asy-Syaukani, "Hadits Rasulullah ini mengandung faedah agung dan perilaku mulia, sebab hadits ini telah menjelaskan bahwa kosa kata yang singkat dan pendek ini telah mampu menunaikan kewajiban bersyukur...” (lihat Mir'atul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, juz 8 hal. 148).