Tuesday, May 31, 2011

Metode pembelajaran kitab kuning klasik

Dalam pesantren, ada beberapa metode yang biasa digunakan oleh kyai atau ustadz dalam melakukan pengajaran kitab kuning dengan Arab pegon. Terbagi dalam dua jenis, yaitu; pertama, secara individual atau biasa disebut dengan sistem sorogan. Kedua, secara berkelompok atau disebut dengan bandongan.. Selain kedua metode tersebut, sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian kitab kuning, di lingkungan pesantren dewasa ini telah berkembang metode jalsah (diskusi kelompok) dan halaqoh (seminar). Pada awalnya metode ini lebih sering digunakan pada tingkat kiai-ulama atau pengasuh pesantren, namun pada masa sekarang sudah biasa dilakukan oleh santri. Biasanya untuk membahas isu-isu kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari kitab kuning. 1. Metode Sorogan
Sistem Individual dalam sistem pendidikan Islam tradisional disebut dengan sistem sorogan yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qur’an. Santri membacakan kitab kuning dihadapan kiai-ulama yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahw dan sharf).
Sorogan artinya belajar secara individu dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Sedangkan menurut Wahyu Utomo, metode sorogan merupakan sebuah sistem belajar dimana para santri maju satu persatu untuk membaca dan menguraikan isi kitab dihadapan seorang guru atau kiai. Dalam Pesantren, sistem sorogan terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Metode ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing Bahasa Arab.
Ciri utama penggunaan sistem individual ini adalah; (1) lebih mengutamakan proses belajar daripada mengajar, (2) merumuskan tujuan yang jelas, (3) mengusahakan partisipasi aktif dari pihak murid, (4) menggunakan banyak feedback atau balikan dan evaluasi, (5) memberi kesempatan kepada murid untuk maju dengan kecepatan masing-masing.
2. Metode Bandongan
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren yaitu sistem bandongan atau seringkali disebut sistem weton. Secara etimologi, dalam kamus besar Bahasa Indonesia, bandongan diartikan dengan pengajaran dalam bentuk kelas (pada seklek agama). Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam Bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit, berupa syakl atau makna mufrodhat atau penjelasan (keterangan tambahan). Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut dengan halaqoh yang arti bahasanya lingkaran murid atau sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru.

reff :http://id.shvoong.com

Wajar Dikdas 9 Tahun DI Pondok Pesantren

Menggali potensi pesantren, baik dalam konteks Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun (selanjutnya wajar dikdas), maupun peningkatan akses pendidikan, menjadi sangat signifikan. Ini disebabkan, bukan hanya karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki akar kuat di masyarakat, tetapi juga karena jumlahnya yang sangat besar, sebagaimana dalam data EMIS 2006, ada sekitar 16.015 buah pesantren. Dengan melihat potensi tersebut, maka target menaikkan daya serap program wajar dikdas 9 tahun dapat dipandang dengan penuh optimis, dan oleh karena itulah, maka pelibatan langsung institusi pesantren dalam akselerasi wajar dikdas 9 tahun menjadi sangat strategis. Meratanya peluang belajar bagi setiap eksemplar bangsa ini merupakan hak yang tak dapat tergantikan dengan apapun. Pemerintah wajib menyiapkan seluruh perangkat lunak dan kerasnya pendidikan agar setiap orang dapat mengenyam dan menjangkau dunia pendidikan sekurang-kurangnya pada tingkat wajib belajar 9 tahun yang menjadi hajat seluruh bangsa. Berbagai pola pendidikan dasar telah diselenggarakan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat mengikuti pendidikan dasar, baik pada jalur pendidikan formal seperti SD/MI, SMP/MTs, maupun pada jalur pendidikan nonformal seperti program Paket A dan Paket B. Tetapi belum seluruh anak usia wajar dikdas tahun mendapat kesempatan memperoleh pendidikan dasar. Di tengah-tengah situasi itu, kiprah dunia pesantren patut kembali dirunut untuk melihat sejauh mana andilnya dalam memajukan bangsa ini di bidang pendidikan secara keseluruhan, khususnya dalam memenuhi program Wajar Dikdas 9 tahun.

Menteri Agama H. Muhammad Maftuh Basyuni, saat meresmikan Pondok Pesantren Perintis Gontor Puteri VII di Kendari, 7 Oktober 2005, menyatakan:

“…Terlepas dari itu semua, betapapun juga pesantren-pesantren yang jumlahnya amat besar itu mempunyai fungsi-fungsi tertentu, entah besar atau kecil dalam proses perkembangan kehidupan masyarakat, terutama dalam bidang pendidikan.Anak-anak muda yang tidak mempunyai kesempatan masuk di sekolah, mereka yang tidak tertampung pada lembaga-lembaga pendidikan formal, yang karena kemiskinan tidak mempu bersekolah atau karena sikap orang tua mereka yang masih sederhana, menyebabkan mereka tidak bisa bersekolah. Maka lewat pendidikan tradisional di pesantren-pesantren inilah setidak-tidaknya mereka memperoleh dasar-dasar pendidikan yang rasa-rasanya cukup dan bermanfaat. Dengan kata lain, pesantren telah ikut berperan dalam dinamika masyrakat Indonesia. Karena itu pesantren harus mendapat pengakuan ..”

Pernyataan Menteri Agama periode 2004 – 2009 ini tidak berlebihan. Di antara mereka adalah santri yang berada pada pondok pesantren salafiyah. Sejak pencanangan gerakan wajib belajar 9 tahun pada tahun 1994, pondok pesantren salafiyah, telah ditetapkan sebagai salah satu pilar penyelenggara pendidikan dasar. Dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1994 ditegaskan, bahwa PPS dimungkinkan menyelenggarakan program pendidikan dasar tersendiri yang penyetaraannya dengan pendidikan dasar disetujui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini semakin memberi payung yang memungkinkan perluasan akses Wajar Dikdas 9 tahun di seluruh Indonesia bagi kalangan pesantren, memberi akses mereka untuk memasuki gerbang pendidikan berikutnya ke segala arah tanpa ada diskriminasi dan hambatan.

Menurut Direktur Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (Pekapontren), Departemen Agama, H. Amin Haedari, Program Wajar Dikdas 9 tahun pada Pondok Pesantren Salafiyah dikembangkan dalam keterkaitannya secara fungsional dengan berbagai bidang kehidupan yang memiliki persoalan dan tantangan yang semakin kompleks. Dalam dimensi sektoral tersebut, Program Wajar Dikdas 9 Tahun tidak cukup hanya berorientasi pada SDM dalam rangka menyiapkan tenaga kerja. Program Wajar Dikdas 9 tahun harus dilihat dalam perspektif pembangunan Insan Indonesia yang beriman, cerdas dan kompetitif. Dalam perspektif demikian, maka program wajar dikdas 9 tahun pada Pesantren Salafiyah harus lebih berperan dalam meletakkan landasan bagi pengembangan seluruh potensi manusia agar menjadi subyek yang berkembang secara optimal dan bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan nasional. Potensi manusia Indonesia yang dikembangkan melalui: (1) Olah hati untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan, meningkatkan akhlak mulia, budi pekerti, atau moral, membentuk kepribadian unggul, membangun kepemimpinan dan entrepreneurship; (2) Olah pikir untuk membangun kompetensi dan kemandirian ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) Olah rasa untuk meningkatkan sensitifitas, daya apresiasi, daya kreasi, serta daya ekspresi seni dan budaya; dan (4) Olah raga untuk meningkatkan kesehatan, kebugaran, daya tahan, dan kesigapan fisik serta keterampilan kinestetis.

Baru Enam Tahun Kemudian

Meski pencanangan gerakan wajar dikdas 9 tahun sudah ditetapkan sejak tahun 1994, toh legalitas penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar di pondok pesantren baru memperoleh bentuknya pada tahun 2000 dan mulai terselenggara melalui program Wajib Belajar 9 Tahun pada Pondok Pesantren Salafiyah. Dasarnya Surat Kesepakatan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor : 1/U/KB/2000 dan Nomor: MA/86/2000, tentang Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola wajib Belajar Pendidikan Dasar.

Pada level implementasi, hal itu dapat dilihat dengan kemunculan Surat Keputusan Bersama (SKB) Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Nomor : E/83/2000 dan Nomor : 166/c/Kep/DS/2000, tentang Pedoman Pelaksanaan Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar.

Ada pula Keputusan Bersama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Nomor : Dj.II/526/2003 dan Nomor : 6016/C/HK/2003 Tahun 2003, tentang Ujian Akhir Nasional Program Program Wajib Belajar Sembilan Tahun pada Pondok Pesantren Salafiyah. Serta Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Nomor: E/239/2001 tentang panduan Teknis Penyelenggaraan Program wajib Belajar Pendidikan Dasar pada Pondok Pesantren Salafiyah.

Namun di masa Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni, keseriusan menjadikan pesantren sebagai lembaga pelaksana Wajardikdas semakin dibuktikan dengan lahirnya suatu Sub Direktorat tersendiri di bawah naungan Direktorat Pendidikan Diniyyah dan Pondok Pesantren, sehingga terasa semakin digarap intensif di suatu wadah yang lapang.

Betapa tidak harus digarap intensif! Menurut data tahun 2006, santri usia 7 – 15 tahun seluruhnya berjumlah 1.820.799 orang, tetapi yang tertampung dalam satuan pendidikan Wajardikdas formal (SD/MI, SMP/MTs, SMPT/MTs.T) baru 805.230 orang (44%). Dengan demikian ada 1.015.569 santri yang belum tertampung dalam satuan pendidikan wajib belajar pendidikan dasar formal. Sejak ditetapkannya pondok pesantren salafiyah sebagai penyelenggara program Wajib Belajar Pendidikan Dasar pada tahun 2000/2001 sampai tahun 2006, santri yang belum terserap dalam pendidikan formal itu sebagian telah terjaring dalam program wajib belajar pendidikan dasar pada Pondok Pesantren Salafiyah. Pada tahun 2006 ini ada 515629 santri yang belajar di 5263 Pondok Pesantren salafiyah penyelenggara Program wajar Dikdas, dengan jmlah santri 216272 tingkat ula; dan 299357 tingkat wustha.

Pendidikan Kesetaraan di Pesantren

Selain program wajib di atas, di pondok pesantren juga diselenggarakan pelayanan pendidikan nonformal melalui pendidikan kesetaraan paket A setara MI-SD, Paket B setara MTs-SMP dan paket C setara MA-SMA. Dengan pendidikan kesetaraan diupayakan perluasan akses terhadap wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, sekaligus memberikan layanan pendidikan menengah bagi mereka yang membutuhkan pendidikan lanjutan yang tidak memungkinkan melalui jalur pendidikan formal.

Menurut Kasubdit Pendidikan Kesetaraan dan Wajib Belajar, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Dr. Ahmad Zayadi, Program Pendidikan Kesetaraan diselenggarakan untuk memberikan layanan pendidikan bagi santri dan peserta didik yang berasal dari masyarakat yang kurang beruntung, tidak pernah sekolah, putus sekolah dan putus lanjut, serta usia produktif yang ingin meningkatkan pengetahuan dan kecakapan hidupnya.
Dalam kaitan dengan Program wajar Dikdas 9 tahun melalui Penyelenggaraan pendidikan kesetaraan Paket A, paket B, ketentuannya diatur dalam Kesepakatan Bersama (SKB) Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Depdiknas dan Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Nomor: 19/E/MS/2004 dan Nomor : Dj.II/166/04 tentang Penyelenggaraan Pendidikan

Kesetaraan pada Pondok Pesantren.
Pada tahun 2006 ini ada sekitar 10.412 warga belajar yang mengikuti Paket A di 296 pesantren; dan 21.535 mengikuti paket B di 899 pesantren. Jika jumlah peserta Paket B ini digabungkan dengan peserta Wajar Dikdas Salafiyah tingkat wustha sebanyak 299.357 orang, keseluruhannya berjumlah 320,892, jumlah ini merupakan bagian dari peserta didik wajib belajar tingkat SMP/MTs/sederajat yang secara nasional berjumlah 11.135.934 orang ( APK 85,22 %). Dengan demikian angka partisipasi kasar (APK) program wajib belajar pada pondok pesantren adalah 0,95 %.

Secara keseluruhan, capaian APK di atas memang masih di bawah target 95%. Sebagaimana dikatakan dalam laporan kinerja Menag tahun 2005 – 2006, penuntasan Wajib Belajar Sembilan Tahun pada Pondok Pesantren Salafiyah bertujuan untuk: pertama, menuntaskan semua santri pondok pesantren dalam kewajiban belajar sehingga mampu memberikan kontribusi nyata dalam peningkatan APK nasional sebesar 95 %. Kedua, meningkatkan kemampuan pesantren salafiyah dalam melaksanakan program wajib belajar pendidikan dasar yang bermutu melalui pengembangan sistem pembelajaran serta peningkatan sumber daya pendidikan secara kuantitatif dan kualitatif.

Angka di atas dipastikan bertambah untuk tahun-tahun berikutnya. Sebab pada tahun 2006, sebagaimana disampaikan kasubdit Pendidikan kesetaraan dan wajib belajar, Dr. Ahmad Zayadi, Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren mengambil kebijakan bahwa penuntasan wajar dikdas 9 tahun, dilakukan dengan memperluas akses pendidikan; peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan; serta kebijakan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik dalam penyelenggaran Program Wajar Dikdas di lingkungan Pondok Pesantren.

Selain program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dalam bentuk program Wajar Dikdas pada Pondok Pesantren salafiyah, dan Pendidikan Kesetaraan Paket A dan B, di pondok pesantren juga diselenggarakan pendidikan kesetaraan Paket C, yang pelaksanaannya didasarkan pada Kesepakatan Bersama Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Depdiknas dan Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Nomor: 19/E/MS/2004 dan Nomor : Dj.II/166/04 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan pada Pondok Pesantren. Pada tahun 2006, warga belajar Program Paket C pada Pondok Pesantren sebanyak 29.101 warga belajar yang tersebar di 639 Pondok Pesantren.

Sesuai pasal 36 dan 38 UU No. 20 tahun 2003, kelembagaan program paket C di lingkungan pondok pesantren dikembangkan dengan mengacu pada standar nasional, dan Permendiknas RI no. 23 tahun 2006 yang mengisyaratkan tentang acuan standar kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah. Dengan kerangka perubahan itulah, maka pengembangan Pendidikan Kesetaraan Paket C khususnya, diarahkan untuk memiliki relevansi dengan peraturan dan kebijakan yang berlaku sekaligus memenuhi kebutuhan dan tuntutan perkembangan masyarakat, sekaligus pada sisi yang lain semakin mengokohkan eksistensi dan jati diri Pondok Pesantren sebagai satuan Pendidikan Islam yang secara integral menjadi bagian dari Sistem Pendidikan Nasional.

Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, Departemen Agama RI, memberikan bantuan pembiayaan Pendidikan kesetaraan Paket A, B, dan C, dalam bentuk BOP. Pada tahun 2006 Sumber dana BOP Paket A dan Paket B adalah dari APBN dan APBN-P dengan perincian sebagai berikut. Dari APBN 2006, jumlah sasaran program Paket A sebanyak 2997 org x Rp. 695.000 mengalokasikan Rp. 2.082.915.000; dan Paket B sebanyak 6513 org x Rp. 953 mengalokasikan Rp. 6.206.889.000; jumlah total dari APBN Rp.8.289.804.000,-(delapan milyar dua ratus delapan puluh sembilan juta delapan ratus empat ribu rupiah). Dari APBN-P 2006, jumlah sasaran program Paket A sebanyak 2158 orang x Rp. 695.000 mengalokasikan Rp. 1.499.810.000; dan Paket B sebanyak 2623 org x Rp. 953.000 mengalokasikan Rp. 2.499.719.000;jumlah total dari APBN-P Rp. 3.999.529.000 (tiga milyar sembilan ratus sembilan puluh sembilan juta lima ratus dua puluh sembilan ribu rupiah).

Sedangkan Sumber dana BOP Paket C dari APBN dan APBN-P tahun 2006, rinciannya adalah: Dari APBN 2006, jumlah sasaran program Paket C sebanyak 100 lokasi x Rp. 10.000.000. mengalokasikan Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Dari APBN-P 2006, jumlah sasaran program Paket C sebanyak 350 lokasi x Rp. 10.000.000,- mengalokasikan Rp. 3.500.000.000,- (tiga milyar lima ratus juta rupiah), sehingga jumlah total dari APBN dan APBN-P Rp. 4.500.000.000 (empat milyar lima ratus juta rupiah).

Dana BOS dan Penuntasan Wajar Dikdas

Salah satu kunci peningkatan kualitas pendidikan adalah pada kebijakan alokasi anggaran. Anggaran pendidikan yang rendah kerap kali berbanding lurus dengan mutu pendidikan yang juga rendah. Karena itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan, salah satu jalan, harus ditunjang pemenuhan kebutuhan finansial yang kuat. Menteri Agama Maftuh Basyuni pernah menegaskan hal itu dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI di Jakarta, Senin, 10 Juli 2006.

Fenomena rendahnya mutu pendidikan akibat seretnya topangan finansial banyak dialami lembaga pendidikan di lingkungan Departemen Agama (Depag). “Rendahnya mutu lulusan lembaga pendidikan di lingkungan Depag, antara lain, disebabkan minimnya proporsi anggaran,” tandas Menteri Agama. Hingga kini realisasi anggaran pendidikan, secara umum, masih di bawah target 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tapi, pada sisi lain, Menag mengacungi jempol adanya langkah terobosan untuk meningkatan kualitas pendidikan, lewat program BOS. Dalam kesempatan rapat kerja tersebut, Maftuh menyampaikan apresiasi kepada berbagai pihak yang membantu kelancaran pelaksanaan program BOS untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), juga Pondok Pesantren Salafiyah penyelenggara Wajar Dikdas tingkat ula dan wustha. Ini adalah terobosan kebijakan pendidikan di Indonesia yang perlu dikembangkan. Secara nominal, alokasi dana BOS untuk SD/MI/salafiyah ula sebesar Rp. 235 ribu per siswa per tahun dan untuk SMP/MTs/salafiyah wustha sebesar Rp 324,5 ribu per siswa per tahun.

Terkait program ini, Menteri Maftuh Basyuni ingin menjalankan prinsip penyelenggaraan pendidikan secara konsisten, sesuai pasal 4 ayat 1 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pendidikan yang berada di lingkungan Depag harus diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajuan bangsa. Karena itu, Menag tidak sepakat dengan dikotomi antara sekolah negeri dan swasta, madrasah dan sekolah, atau lembaga pendidikan dan pesantren. “Semuanya harus tersentuh program ini,” katanya.

Mengapa harus merata? Sebab program ini hakikatnya ingin menyukseskan program wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) 9 tahun. Diharapkan tak ada lagi anak yang tidak sekolah dengan dalih tak punya biaya. Pesan inti program BOS adalah membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu dan meringankan siswa lain yang mampu, agar mereka memperoleh layanan pendidikan dasar bermutu sampai tamat, selama sembilan tahun. Maka, target program BOS adalah menjamin lulusan SD/MI/salafiyah ula untuk melangsungkan pendidikannya hingga tingkat SMP/MTs. Tidak boleh ada siswa miskin yang tidak mampu melanjutkan ke SMP/MTs hanya karena mahalnya biaya sekolah.

Program BOS, yang digawangi Menag, juga bagian dari implementasi pemerataan mutu pendidikan di lingkungan Departemen Agama. Menteri Agama, pada program ini, berperan sebagai tim pelindung, bersama dengan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Ketua Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), dan Menteri Keuangan (Menkeu). Sedangkan yang berperan sebagai penangungjawab adalah Dirjen Dikdasmen Depdiknas dan Dirjen Pendidikan Islam Depag. Pelaksananya adalah sebuah Tim PKPS-BBM pada tingkat pusat, wilayah/propinsi, dan kabupaten/kota.

Kebijakan Menag untuk program BOS dirancang untuk pemberdayaan mutu lembaga pendidikan di lingkungan Depag, yaitu madrasah (MI dan MTs), pondok pesantren salafiyah tingkat Ula (setara dengan MI), Wustho (setara dengan MTs), dan sekolah keagamaan non-Islam penyelenggara Wajar Dikdas 9 tahun yang setara SD dan SMP.

Dalam program BOS, juga dikenal istilah Biaya Satuan Pendidikan (BSP).

Yakni besaran biaya yang diperlukan rata-rata per siswa per tahun, sehingga mampu menunjang proses belajar mengajar sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan. Jenis BSP ada dua. Pertama, BSP Investasi. Biaya untuk menyediakan sumberdaya yang tidak habis pakai yang digunakan dalam waktu lebih dari satu tahun. Misalnya untuk pengadaan tanah, bangunan, buku, alat peraga, media, perabot dan alat kantor. Kedua, BSP Operasional. Biaya untuk menyediakan sumber daya pendidikan yang habis pakai yang digunakan satu tahun atau kurang, mencakup biaya personil dan biaya non personil. Biaya personil meliputi: (1) Kesejahteraan. Seperti honor kelebihan jam mengajar, guru tidak tetap, dan uang lembur. (2) Pengembangan profesi guru. Seperti diklat guru, Musyawarah Guru Mata Pelajaran, Musyawarah Kerja Kepala Sekolah, Kelompok Kerja Kepala Sekolah, Kelompok Kerja Guru, dan lain-lain. Sedangkan biaya non-personil meliputi: penunjang KBM, evaluasi/penilaian, perawatan/pemeliharaan, daya dan jasa, pembinaan kesiswaan, rumah tangga sekolah, dan supervisi.

Secara umum, gambaran BOS begitulah adanya. Tapi sejatinya, yang menjadi sasaran utama adalah biaya operasional non-personil. Dan yang penting diingat adalah BOS bukan biaya kesejahteraan guru. Bukan berarti Depag tidak peduli pada kesejahteraan guru. Justru di sinilah tempatnya berbagi peran antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah Propinsi, Kabupaten, dan Kota juga harus membantu mengalokasikan dana khusus untuk peningkatan kesejahteraan guru madrasah dan pesantren salafiyah. Karena mereka juga warga negara, sebagaimana guru sekolah pada umumnya, yang mendedikasikan diri untuk mendidik anak bangsa. Itulah pesan yang sering ditandaskan Menteri Maftuh Basyuni.
Kekhasan dan Tantangan

Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa sistem pendidikan pesantren ini memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh sistem pendidikan lainnya, baik sebagai satuan pendidikan keagamaan Islam maupun sistem dan institusi kemasyarakatan. Kekhasan tersebut justeru merupakan potensi yang sangat mendukung terlaksananya Program Wajar Dikdas 9 tahun dan Pendidikan Kesetaraan Paket A, B, dan C.

Dengan kekhasan itu, pesantren telah berkembang menjadi kekuatan optimal untuk maju dan berkembang, memberdayakan diri dan masyarakat lingkungannya. Dan kekhasan tersebut, sebagaimana disampaikan Direktur Pekapontren H. Amin Haidary, ketika memaparkan pikiran-pikirannya mengenai Wajar Dikdas 9 tahun di Pesantren Salafiyah, bahwa Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang didirikan secara mandiri oleh dan untuk masyarakat. Menteri Pendidikan Belanda Keuchenius ketika akan merealisasikan Politik Etikanya di abad ke-19 dengan membangun sekolah-sekolah tertentu terutama bagi para calon pamong praja, memandang pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menguntungkan di satu sisi lantaran dibangun dan dibiayai oleh masyarakat itu sendiri.

Adanya figur ulama atau tokoh kharismatik pada pondok pesantren, sebagai sosok yang disegani dan menjadi panutan masyarakat sekitarnya, menjadi potensi berikutnya yang dapat memperlancar sistem pengajaran di sini tanpa ketakutan penolakan masyarakat. Ungkapan kyai sebagai cultural broker – sebagaimana dialamatkan Clifford Geartz – atau agen perubahan – sebagaimana disampaikan Hiroko Horikoshi – mempercepat pesan-pesan pembangunan kepada masyarakat dari pemerintah.

Tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang cukup memadai pada pondok pesantren, juga menjadi hitungan potensi tersebut. SDM ini seringkali sangat murah dan efektif. Mereka berjiwa mandiri, ikhlas, sederhana, sehingga mudah dimobilisir untuk tujuan positif dengan pendekatan keagamaan. Tersedianya lahan yang luas, karena pada umumnya pesantren berada di pedesaan. Hal ini menjadi modal murah bagi terselenggaranya pendidikan murah dan massif. Para santri pun memiliki cukup banyak waktu karena mereka mukim di asrama. Selanjutnya adanya jaringan yang kuat di kalangan pondok pesantren, khususnya pesantren sejenis yang dikembangkan oleh para alumninya dan minat masyarakat cukup besar terhadap pesantren, karena di samping diberikan pendidikan agama dan pelajaran umum juga bimbingan moral.

Dengan demikian, pesantren memiliki kekuatan besar untuk memajukan pendidikan di negeri ini, jauh lebih besar dari pendidikan apapun yang pernah dibuat. Hal ini terjadi bila ada keinginan politis ( political will) lebih besar yang memberi mandat kepada pesantren untuk bergerak dan berdaya guna secara optimal. Pesantren harus terlepas dari hambatan-hambatan politis yang tidak relevan dan artificial. Pemberian kepercayaan (trust) secara penuh untuk terus eksis menjalankan mission sacre-nya dan berada pada jalur utamanya yang tepat (on the track) merupakan upaya mengembalikan fungsi pesantren dan memulihkan suasana politik secara keseluruhan agar kembali kondusif. Namun keinginan itu harus dibarengi oleh pemberian fasilitas yang memadai dari berbagai aspek, agar pesantren memiliki modal kerja (dalam pengertian menyeluruh) yang cukup dan leluasa bergerak. Bagaimana pun pesantren adalah aset bangsa yang telah membuktikan kapasitasnya selama ratusan tahun di berbagai lapangan, wabil khusus pendidikan bagi masyarakat dengan mayoritas Muslim ini.

H. Amin Haidary, Direktur Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, menyebutkan trilogi pengembangan dan fungsi pesantren, yang meliputi pesantren sebagai institusi pendidikan, institusi keagamaan dan institusi sosial kemasyarakatan. Menurutnya, tiga fungsi itu merupakan produk dari suatu proses yang panjang yang terinternalisasi dan terinstitusionalisasi dalam kultur masyarakat secara sendirinya dan satu sama lain saling melengkapi.

sumberhttp://www.ditpdpontren.net
Dikirim oleh arifatul Saturday, 16 February 2008
Orientasi Kurikulum & Pembelajaran Wajar Diknas 9 Tahun
Orientasi Kurikulum & Pembelajaran Wajar Diknas 9 Tahun
Rabu, 20 Agustus 2008
Ada tiga kebijakan umum yang digariskan dalam pengembangan pendidikan Islam oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam tahun 2004-2009, Pertama, peningkatan akses untuk mengikuti pendidikan. Kedua, peningkatan kualitas pendidikan. Ketiga, tata kelola atau pengembangan tata kelola, akuntabilitas, transparansi dan pencitraan. Demikian disampaikan Prof. Dr. Muhammad Ali, MA, Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, dalam sambutannya pada pembukaan Orientasi Kurikulum dan Pembelajaran Wajar Dikdas 9 Tahun di Hotel The Acacia Jakarta (19/08/’08).

Tentang peningkatan akses untuk mengikuti pendidikan, ia menjelaskan bahwa dalam rangka memberi kesempatan kepada warga negara Indonesia untuk mengikuti pendidikan, maka Direktorat Pendidikan Islam membangunkan ruang kelas baru untuk madrasah-madrasah negeri maupun swasta dengan tujuan agar lebih banyak yang bisa mengikuti pendidikan guna menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.

Berkaitan dengan peningkatan kualitas pendidikan ada beberapa program, lanjut Muhammad Ali yang juga alumnus Pondok Pesantren Buntet Cirebon, diantaranya adalah dengan adanya program mu`adalah (kesetaraan ijazah). Sedangkan yang berkaitan dengan tata kelola, termasuk pelaksanaan program wajar dikdas 9 tahun, lanjut Ali yang pernah menjadi Dosen di UPI Bandung ini mengakui dan menyadari bahwa bukan hanya di pesantren tetapi di madrasah-madrasah, khususnya madrasah diniyah dan swasta, pengelolaan atau manajemen adalah barang asing. Artinya, apa yang dikerjakan para pengelola berjalan secara alami saja. “Manajemen adalah pengelolaan dan tata kelola adalah government”, tegas Ali.

Kegiatan yang diikuti oleh 80 peserta yang merupakan utusan dari berbagai pesantren se-Indonesia ini dilaksanakan selama 3 hari, 19-21 Agustus 2008, dibawah koordinasi Subdit Pendidikan Kesetaraan dan Wajib Belajar. Kegiatan yang bertema: “Dengan Orientasi Kurikulum Wajar Dikdas Kita Tingkatkan Mutu Pembelajaran Program Wajar Dikdas pada Pondok Pesantren” ini dimaksudkan untuk meningkatkan juga mutu pembelajaran wajar dikdas pada tahun 2008.

Sementara itu Direktur PD. Pontren, Drs. H. Amin Haedari, M.Pd, dalam sambutannya mengatakan bahwa “bagi pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan wajar dikdas salafiyah paket A dan paket B, kegiatan ini diarahkan kepada orientasi pengembangan ketrampilan fungsional, dimana pesantren-pesantren yang menyelenggarakan pendidikan wajar dikdas salafiyah ini, keunggulannya tidak pada penyelenggaraan wajar dikdas itu sendiri akan tetapi lebih menitikberatkan pada ketrampilan yang dikembangkan oleh para santrinya. Hal ini berbeda dengan pesantren yang menyelenggarakan pendidikan secara formal, dimana penyelenggaraan pendidikannya lebih berkonsentrasi pada pengembangan keilmuan yang lebih mendalam.”

reff : http://refdak.wordpress.com

Friday, May 27, 2011

Terjemahan Kitab Imrity

مقدمة
Segala puji bagi Alloh yang Maha 
Penolong mahluq dengan ilmu dan taqwa
Hingga hatinya menuju kepadanya 
Tanpa dapat memuat kebesarannya
Kalimat tauhid dimasukkan hatinya 
Lalu hati bergembira sepenuhnya
Sholawat salam tercurah pada Nabi 
Yang berpredikat Afshohil kholaiqi
Muhammad, Keluarga dan sahabatnya 
Mereka mengkaji al-Qur’an kitabya
Setelah itu kini perhatikanlah ! 
Ringkasan ulama’ ahli kalamiyah
Walau sulit ringkasan ini terbukti 
Menjaga lisan arab ya..dari ahli
Supaya dapat memahami artinya 
Al-Qur’an dan sunnah deangan sesungguhnya
Ilmu nahwu lebih utama dikaji 
Tanpanya, Qur’an – sunnah tak dipahami
Kitab ini kecil namun yang terbaik 
Goresan yang lembut, terkenal dan unik
Ibnu A-Jurumi pengarang dasarnya 
Terkenal di Arab dan manca Negara
Ulama, besar mengambil manfaatnya 
Rahasia ilmu ada di dalamnya
Bagi pemula, Rangkaian kitab ini 
Tampak indah sesuai dengan yang asli
Mengurangi kata kadang kulakukan 
Serta menambah faidah kulakukan
Karena menyempuranakan macamnya bab 
Maka terbit seperti syarahnya kitab
Mengarang kitab ini terdorong teman 
Mereka paham karena keyakinan
Pemuda tergantung tekadnya yang kuat 
Tanpa tekad jelas tak dapat manfaat
Ya…..Mannan, ku mohon kepada Mu 
Jauh riya, lipatkanlah pahalaku
Semoga mendapat manfaat ilmunya 
Orang yang sungguh menghafal memahamnya.
باب الكلام
Kalam nahwu : lafadl mufid serta musnad 
Kilmah adal;ah lafadl mufid yang mufraod
Isim, Fi’il serta huruf; bagiannya 
Ketiganya terkenal kalim namanya
Qaul adalah lafadl mufid yang mutlaq 
Seperti : ان زيدا نانطلق , قد , قم
Tanda-tanda isim : Tanwin dan huruf jer 
Kemudian Alif-lam dan mutlaqnya jer
سين , قدDan تأ تأنيث mati tanda fi’il 
Dalam menandai bersikaplah adil
Fi’il dengan ta’ فعلت ditandai 
Kemudian nun افعلن ya افعلى
Huruh adalah kalimat tanpa tanda 
Dalam kalimat isim dan fi’il juga
باب الاعراب
I’rob Ahli nahwu : Perubahan pada 
Akhir kalimat sebab amil berbeda
Dalam perkiraan ataupun lafadlnya 
Rafa’, Nashob, Jer dan Jazem bagiannya
Selain jazem I’rob isim semua 
Dan selain jer I’rob fi’il semua
Isim dapat dihukumi mu’rob bila 
Dengan huruf delatnya tidak serupa
Fi’il ( lain mudhore’ ) mabni hukumnya 
Serta mudhore’ ( يفعلن , يفعلن )
باب علامات الرفع
Tanda-tanda I’rob rofa’ ada empat 
Dhommah, wawu, alif, serta nun yang tetap
Dhommah bertempat pada isim yang mufrod 
Dan jamak taksir sepaerti yang dimurod.
Dan jamak ta’nis, contoh :مسلمات 
Serta fi’il mudhore’ contoh : يسكت
Jama’ mudzakar salaim, Wawu rofa’nya 
Seperti جاء الصالحون contohnya
Juga bertempat pada Asma’ul khomsah 
ذو , فو , حم , اخ , اب Jangan salah
Semua berlaku hanya dengan dasar 
Syarat; Mudhof, mufrod dan juga mukabbar
Isim tasniyah, Rofa’nya dengan alif 
Tanda nun di fi’il mudhore’ tang ta’rif
Ya’ni lafadl يفعلان , تفعلان 
Serta lafadl يفعلون تفعلون
Dan lafadlتفعلين yang sangat mudah 
Terkenal dengan nama Af’alul khomsah.
باب علامات النصب
Tanda I’rob nashob lima tanpa kurang 
Fathah, alif, kasroh, ya’, nun yang terbuang
Yang rofa’nya dhommah, Nashob dengan fathah
Kecualiهندات dicegah fathah
Asma’ul khmsah dengan Alif nashobnya 
Jama’ muannas salim, Kasroh nashobnya.
Huruf ya’ tanda nashob isim tastniyah 
Dan jamk mudzakar salim tanpa salah
Af’alul khomsah, Nashobnya ditandai 
Dengan membuang nun rofa’ yang terjadi
باب علامات الخفض
Tanda I’rob jer( Tiga ) yang diterangkan 
Yaitu kasroh, Ya,, Fathah ditentukan
Semua isim yang rafa’nya didhommah 
Selam munshorif maka jernya kasroh
Semua isim, Nashob ya’ : jernya juga #
Serta asma’ul khomsah dengan syaratnya.
Isim Ghoiru munshorif difathah jernya #
Ya’ni isim bersifat fi’il jelasnya
Dengan adanya isim yang beralasan #
Baik satu maupun dua alas an
Satu alas an : alif ta’nist yang ada #
Sighot muntahal jumu’ yang juga sama
Dua lasan sifat bersama adil #
Tambahan ( alif-nun ) atau wazan fi’il
Tiga hal bersama sifat juga alam #
Ditambah tarkib majzi dan asma’ ajam
Dan Ju8ga ta’nist. Jika ba’da Al-Ta’rif #
Dan jika dimudhofkan maka munshorif
باب علامات الجزم
Tanda I’rob jazem dua, ( satu : sukun ) #
( Dua : membuang huruf illat atau nun
Membuang huruf nun rofa’ dengan pasti #
Pada Af’alul khomsah, jazem terjadi.
Mudhore’ shoheh. Sukun tanda jazemnya #
Tanpa huruf illat pada akhirannya
Nashobya mu’tal wawu, Ya’ : dijelaskan #
Selain saat nshob diperkirakan
Contohيخشى , يهتدى , يغزو akhirnya #
Huruf illat. ( Mudhore’ shoheh lainnya )
Huruf illat ya’ dan alif bagi isim #
Sepertiقاض danفتى contoh isim
I’robnya قاض danفتى diperkirakan #
Tetapiقاض nashobnya dijelaskan
Perkiraan tiga I’rob pun terjadi #
Pada mim sebelum ya’ lafadl غلامى
Wawunya lafadlمسلمي disimpan #
Nunnya lafadlلتبلون diperkirakan
فصل
Semua isim yang mu’rob ditandai #
Dengan harokat atau huruf yang pasti
Empat bagi awalnya dua bagian #
Ditandai dhommah saat dirofa’kan.
Setiap isi yang rafa’nya didhommah #
Maka saat nashobnya harus difathah
Isim tesebut dengan kasroh, dijerkan #
Fi’il shoheh dengan sukun dijazemkan.
Namun contoh dicegah nashobnya kasroh #
Dan isim ghoiru munshorif jernya fathah.
Setiap fi’il mu’tal tewntui jazemnya #
Dengan membuang huruf illattandanya
Mu’rob dengan huruf ( empat bagiannya ) #
Tastniyah dan jama’ mudzakar rupanya
Dengan jama’ yang shoheh contohnya sudah #
Laluy asma’ul khomsah, Asma’ul khomsah
Isim tastniyah dengan alif rofa’nya #
Dengan huruf ya’ saat nashob dan jernya
Jama’ seperti tasniyah, nashob - jernya #
Dengan wawu, Jama’ ketika rafa’nya
Sepereti jama’, tanda Asma’ul khomsah #
Saat rofa, jer namun alif nashobnya.
Dengan nun, Af’alul khomsah saat rofa’ #
Dengan membuang nun saat lain rofa’
باب النكرة والمعرفة
Pengertian dari isim yang nakiroh #
Isim yang menerima Al muassiroh
Selain nakiroh, makrifat namanya #
Enam macam : Isim dhomir yang pertama
Isim dhomir ganti dari isim dhihir #
Tunjuk arti ghoib, mutakalim hadir
Isim dhomir, dua : pertama muttashil #
Mustatir dan bariz, ke-dua Munfashil
Isim makrifat ke-dua isim ‘alam #
Contohnya جعفر مكة , dan حرم
Laluام عمر dan ابو سعيد
Juga lafadl , كهف الظلم الرشيد
Alam kuniyah اب , ام awalnya #
Alam Asma’ atau Laqob selainnya
Alam Laqob tunjuk puja atau cela #
Tanpa tunjukkan, alam Asma’ namanya
Ke-tiga Isim Isyaroh; Contohnya ذى #
Ke-empat Isim maushul; contoh الذى
Ke-limanya Isim makrifat dengan ال #
Contoh dari محل jadi المحل
Ke-enam, ya’ni isim yang dimudhofkan #
Pada isim makrifat yang yang disebutkan
Contohابن زيد , ابنى dan ابن ذى #
ابن الذى قلته danابن البذى

باب الافعال
Kalimat Fi’il dapat dibagi tiga #
Fi’il madi, Amar, Mudhore’ rupanya
Fi’il madhi akhirnya difathah bila #
Sepi dari dhomir mutaharik rafa’
Disukun bila bertemu dhomir rafa’ #
Didhommah bila bertemu wawu jama’
Fi’il Amar mabni jazem ya’ni sukun #
Dan membuang huruf illat ataupun Nun
Huruf awalnya Mudhore’; Mudhoro’ah #
Ya’ni huruf empat yang jadi zaidah
Yaitu : hamzah, nun, ya’ dan ta’ rupanya #
Terkumpul dalam kataانيت saja
Mudhore’ madhi rubai; awal dhomma #
Selainnya ruba’I maka difathah.
باب اعراب الفعل المضارع
Fi’il mudore’ mabni rafa’ selama #
Dengan (amil nashob, Jazem) tidak jumpa
Amil nashob sepuluh ya’ni :كى , لن , ان #
Kemudianاذن dan juga لام كى
Laluواو , أو , حتى , لام جحد dan فاء #
Yang dijadikan jawab oleh Ulama’
Ulama’ menjadikan wawu fa’ jawab #
Harus setelah نفى ataupun طلب
Jazemnya mudhore’ denganلم dan لما #
Serta denganلام أمر , لا نهى juga
Demikian juga من , ما , ان danاذما #
, اين , ايان , متى , ايdan مهما
Kemudian انى , كيفما , حيثما #
Seperti contoh ان يقم زيد قمنا
ان dan seterusnya jazemkan mudore’ #
dua ; ya’ni : syarat dan jawab mudhore’
Membuat jawab dengan fa’ dibolehkan #
Setelah syarat, hukumnya ditentukan

باب مرفوعات الاسماء
Berjumlah tujuh isim yang dimakrifatkan #
Sebagaimana yang akan dijelaskan
Fa’il adalah isim marfu’ pertama #
Isim yang terjadi setelah fi’ilnya
Hukumnya Fi’il wajib mufrod ketika #
Rupa jamak/ tasniyah fa’ilnya
Contoh اتى الزيدان والزيدون #
Sepertiجاء زيد , يجىء اخونا
Ulama’ membagi fa’il jadi dua #
Ya’ni Fa’il dhohir dan dhomir rupanya
Fa’il dhomir dua belas bagiannya #
, قمت , قمت , قمنا , قمتdanقمتما
قامت, قام , قمتم , قمتن dan قاما
قمن , قاموا Serta lafadl صمتم عاما
Dhomir tadi disebut dhomir muttashil; #
Seperti itu juga dhomir munfasil
Contohلايقم الا انتم و أنا #
Serta samakanlah dengan yang lainnya.

باب نائب الفاعل
Fa’il terbuang digantikan maf’ulnya #
Contoh فتح زيد , majhul fiuilnya
Diganti masdar, dhorof ataupun majrur #
Bila tidak ditemukan maf’ul madzkur
Fi’il madhi majhul, awalnya didhommah #
Dan huruf sebelum akhirnya kasroh
Fi’il mudhore’ majhul, awalnya dhommah #
Dan huruf sebelum akhirnya difathah
Namun fi’il ajwaf, Contoh lafadl باع #
Majhulnya dikasroh awal jadi بيع
Naib fa’il ada dua bagiannya #
Naib fa’il dhohir dan dhmir rupanya.
Contoh pertama يكرم المبشر #
Contoh kedua دعيت dan yang baru

باب مبتدأ والخبر
Mubtada’ itu Isim yang dirafa’kan #
Dari amil lafdy wajib disunyikan
Khobar itu isim marfu’ disandarkan #
Pada mubtada’nya, lafadl disamakan
Lafadlزيد عظيم الثان contohnya #
Sertaزيدان قائمان serupa
Seperti lafadl زيدون قائمون #
Dan juga seperti قائم اخونا
Mubtada’ dapat berupa isim dhohir #
Dan juga dapat berupa isim dhomir
Mubtada’ tidak boleh dhomir muttashil #
Namun boleh dengan dhomir yang munfasil
انت , انت , نحن , انا dan انتما
هما , هم , هى , هو , انتم , انتن
Danهن juga, Semua dua belas #
Contohnya انا قائم dengan jelas
Khobar terbagi dua : yang awal mufrod #
Yang ke-dua ya’ni khobar ghoiru mufrad
Khobar ghoiru mufrod, Empat bagiannya #
Pertama : dorof, Jer majrur yang kedua
Ke-tiga Fi’il Fail ( Jumlah Fi’liyah) #
Akhir : mubtada’ khobar (Jumlah Ismiyah)
Contoh : الفتى فى الدار , انت عندى
ابنى قرا dan ذا أبوه قارى
كان واخواتها
كان dan saudaranya, rafa’kan isim #
Nashobkan khobar : كان زيد ذاعلم
Juga بات , ظل , أضحى sertaامسى #
Seperti itu ليس , صار , أصبح
زال ¸انفك ¸فتئdanبرح #
ke-empatnya setelah نفى jelasnya
Akhwatnya كان terakhir ya’ni دام #
Setelahnya ما مصدرية ظرفية
Begitu juga dengan tashrifnya كان #
Dan akhwatnya, semua amalnya sama.
Contohnyaكن صادقا danكن صالحا #
Serta contohانظر لكونى مصبحا

ان واخواتها
انDan akhwatnya menashobkan isim #
Rafa’kan khobar:ان زيدا ذو عين
Seperti beramal #
Juga lafadl
Faidah taukid bagi ان dan ان #
Faidah tamanny bagiannya ليت
Faidah tasbih ya’ni lafadl كأن #
Dan faidah istidrok bagi لكن
Lafadlلعل tunjuk faidah dua : #
Ya’niترجى danتوقع rupanya

ظن واخواتها
Nashobkan mubtada’ khobar dengan ظن
Serta jadikanlah maf’ul keduanya
خلته dan زعمته , حسبته #
علمته , وجدته , رايته
Laluجعلته dan اتخذته #
Dan semua tasrifnya pun harus tahu
Contohظننت زيدا منجدا juga #
اجعل لنل هذا المكان مسجدا

reff : http://www.muwafiq.co.cc

Kitab-kitab Tafsir Populer

Dari sejumlah buku tafsir yang banyak jenisnya, beberapa diantaranya beredar dan populer di kalang an umat Islam dan dipergunakan sebagai rujukan umum. Setidaknya, ada 24 karya tafsir yang masuk dalam kategori kitab tafsir utama. Karya tafsir populer tersebut sebagai berikut.

* Jami' al-Bayan fi Tafsir Alquran atau Tafsir at-Tabari disusun oleh Abu Ja'far Muhammad bin Jarir at-Tabari. Kitab ini terdiri atas 30 jilid. Tafsir at-Tabari sangat terkenal di kalangan mufasir yang datang sesudahnya karena kitab tersebut menjadi rujukan pertama, terutama dengan adanya penafsiran naqli (berdasarkan Alquran dan hadis Rasulullah SAW).

* Kitab tafsir Bahr al-Ulum karya Abu al-Lais Nasr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim as-Samarqandi, ahli fikih Mazhab Hanafi yang terkenal dengan panggilan Imam al-Huda. Ada tiga naskah Bahr al-Ulum. Satu naskah terdiri atas tiga jilid dan terdapat di Dar al-Kutub al-Misriyyah (Mesir). Dua naskah lainnya masing-masing terdiri atas dua dan tiga jilid serta terdapat di perpustakaan Universitas Al-Azhar.

* Al-Kasyf wa al-Bayan 'an Tafsir Alquran disusun oleh As-Sa'labi atau Abu Ishaq Ahmad bin Ibrahim as-Sa'labi an-Naisaburi. Kitab ini terdiri atas beberapa jilid. Namun, hingga kini, hanya jilid pertama sampai dengan jilid keempat yang dapat ditemui di perpustakaan Al-Azhar.
* Ma'alim at-Tanzil ditulis oleh Abu Muhammad al-Husain bin Masud bin Muhammad al-Farra' al-Bagawi. Selain dalam bidang tafsir, ia adalah ulama terkemuka dalam bidang fikih dan hadis. Tafsir ini merupakan tafsir sederhana yang hanya terdiri atas satu buku.

* Al-Muharrir al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz disusun oleh Ibnu Atiah atau Abu Muhammad Abdul Haqq bin Galib bin Atiah al-Andalusi al-Magribi al-Garnati. Karya Ibnu Atiah ini masih berbentuk manuskrip dan terdiri atas 10 jilid dan yang tersimpan di Dar al-Kutub al-Misriyyah (Mesir). Saat ini, karya tersebut hanya terdiri atas empat jilid (jilid tiga, lima, delapan, dan 10). Untuk mendukung penafsirannya, Ibnu Atiah mengemukakan contoh penggunaan kata dalam sastra Arab disertai uraian yang berhubungan dengan nahu, kiraah, dan arti kata.

* Tafsir Alquran al-Azim disusun oleh Ibnu Kasir. Kitab ini merupakan kitab tafsir riwayat yang sangat populer dan dipandang sebagai kitab tafsir terbaik kedua setelah kitab tafsir at-Tabari. Ibnu Kasir menafsirkan ayat Alquran berdasarkan hadis Nabi SAW yang dilengkapi dengan sanad dan sedikit penilaian terhadap rangkaian sanad hadis.

* Al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir Alquran disusun oleh as-Sa'alibi atau Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad bin Makhluf as-Sa'alibi al-Jaza'iri al-Magribi al-Maliki, seorang penganut Mazhab Maliki. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab tafsir Ibnu Atiah disertai dengan beberapa tambahan yang diambil dari tafsir-tafsir ulama sebelumnya.

* Ad-Durr al-Mansur fi at-Tafsir al-Ma'tsur karya as-Suyuti terdiri atas enam jilid. Ia menyebutkan, kitab tafsir ini berisi penafsiran Rasulullah SAW. Di dalamnya, terdapat sepuluh ribu hadis, baik yang marfu' maupun yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat). Uraian dalam tafsir dikaitkannya pula dengan masalah kebahasaan, seperti i'rab, balagah, dan badi' (keindahan susunan kata Alquran).

* Mafatih al-Gaib disusun oleh Fakhruddin ar-Razi. Kitab ini terdiri atas delapan jilid. Kedelapan jilid tersebut pada hakikatnya tidak disusun seluruhnya oleh ar-Razi. Menurut Ibnu Qadi (ahli tafsir), ar-Razi tidak pernah menyusun tafsirnya itu secara lengkap dari awal hingga akhir, melainkan dilakukan oleh beberapa mufasir lain.

* Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta'wil adalah kitab tafsir yang disusun oleh Abdullah bin Umar al-Baidawi. Dalam kitab ini, al-Baidawi mengombinasikan tafsir dan takwil sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Dalil yang ditetapkannya didasarkan atas kaidah ahlusunnah waljamaah. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab tafsir az-Zamakhsyari.

* Lubab at-Ta'wil fi Ma'ani at-Tanzil disusun oleh Imam Abdullah bin Muhammad yang terkenal dengan nama al-Khazin. Kitab ini ditulis dengan redaksi yang sederhana sehingga mudah dipahami. Dalam penafsirannya, al-Khazin menggunakan beberapa riwayat dan cerita untuk memperkuat argumentasinya serta tidak lupa mencantumkan sumbernya.

* Madarik at-Tanzil wa Haqa'iq at-Ta'wil disusun oleh al-Alim az-Zahid Abdullah bin Ahmad an-Nasafi. Tafsir ini bentuknya lebih ringkas dan lebih sederhana dari kitab tafsir yang lain. Di dalamnya, dijelaskan segi-segi i'rab dan kiraah suatu ayat. Di samping itu, dijelaskan juga keindahan balagah-nya.

* Gara'i Alquran wa Raga'ib al-Furqan disusun oleh Nizamuddin al-Hasan Muhammad an-Naisaburi. Keistimewaan kitab tafsir ini terletak pada pembahasannya yang sistematis serta dilengkapi dengan susunan redaksi yang mudah dipahami. Pembahasan penafsiran dalam kitab ini difokuskan pada dua hal, yaitu kiraah dan makna yang tersirat (isyari). Dalam tafsir ini, diuraikan juga secara lebih dalam hal-hal yang berhubungan dengan persoalan kalam (teologi), kauniyah (alam semesta), dan filsafat serta tasawuf.

* Tafsir Jalalain disusun oleh Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti. Kitab tafsir ini terdiri atas dua jilid.

* As-Siraj al-Munir fi al-I'anah ala Ma'rifah Ba'd Ma'ani Kalam Rabbina al-Hakim al-Khabir atau as-Siraj al-Munir karya Syamsuddin Muhammad bin Muhammad asy-Syarbini. Kitab tafsir ini banyak menerangkan masalah kiraah, i'rab, dan hadis. Asy-Syarbini juga mengemukakan munasabah antara ayat dan ayat, masalah fikih, dan riwayat isra'iliyyat. Dalam penafsirannya, ia banyak mengikuti penafsiran Fakhruddin ar-Razi.

* Irsyad al-Aql as-Salim ila Mazaya al-Kitab as-Salim disusun oleh Abu Su'ud bin Muhammad al-Amidi. Kitab tafsir ini menekankan masalah kebahasaan dan kemukjizatan Alquran dari segi munasabah antara ayat dan kiraah, dan hal-hal yang berkaitan dengan kaidah bahasa Arab. Riwayat isra'iliyyat dan masalah fikih kurang ditampilkan dalam kitab tafsir ini.

* Ruh al-Ma'ani fi Tafsir Alquran al-Azim wa as-Sab'i al-Masani disusun oleh Syihabuddin Mahmud al-Alusi. Masalah yang ditonjolkan dalam kitab tafsir ini berkaitan dengan masalah kauniah, nahu, fikih, kiraah, munasabah antara ayat dan ayat, dan sebab turunnya ayat.

* Al-Kasysyaf an Haqa'iq at-Tanzil wa Uyun al-Aqawil atau al-Kasysyaf disusun oleh az-Zamakhsyari terdiri atas empat jilid. Kitab tafsir ini sangat menekankan aspek balagah.

* Majma' al-Bayan bi 'Ulum Alquran disusun oleh Abu Ali a-Fadl bin Hasan bin Fadl atau yang lebih dikenal dengan at-Tabarsi. Kitab ini terdiri atas 10 jilid. Dalam setiap surat, dikemukakan bahwa tempat surat itu diturunkan dan perbedaan jumlah ayatnya dan kiraahnya. Di samping itu, dikemukakan pula masalah persoalan kebahasaan, hukum, dan takwilnya. Ditampilkan pula persoalan sebab turunnya ayat.

* Tanzih Alquran an al-Mata'in karya Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamdani, seorang mufasir Muktazilah. Kitab tafsir ini dimulai dengan penafsiran surat Alfatihah sampai dengan surat Annas. Penafsiran didasarkan atas kelompok ayat yang mengandung satu masalah. Penjelasannya menyangkut masalah susunan bahasa Alquran dan masalah yang tidak sesuai dengan akidah Muktazilah.

* Gurar al-Fawaid wa Durar al-Qala'id bi al-Muhadarat disusun oleh Abu Qasim Ali at-Tahir Abu Ahmad al-Husain. Kitab tafsir ini merupakan kumpulan ceramah yang disampaikan oleh al-Murtada as-Sarif dalam berbagai forum pertemuan yang mengkaji masalah tafsir, hadis, dan bahasa. Kitab ini hanya mencakup penafsiran sebagian ayat yang kebanyakan berkaitan dengan akidah. Sang penulis mengutamakan penafsiran ayat yang mendukung dan sesuai dengan akidah Muktazilah yang dianutnya.

* Al-Bahr al-Muhit disusun oleh Asiruddin Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Hayyan yang terdiri atas delapan jilid. Kitab ini dipandang sebagai referensi pertama dan terpenting yang berkaitan dengan masalah nahu. Kitab ini juga memaparkan perbedaan pendapat para ulama nahu tentang suatu masalah. Dalam kitab tafsir ini, juga dijelaskan sebab turunnya ayat, nasikh dan mansukh, masalah kiraah, dan aspek balagah-nya. Selain itu, dikemukakan masalah hukum yang terkandung dalam ayat-ayat ahkam (hukum).

* Tafsir Alquran disusun oleh Sayid Abdullah Alawi, seorang penganut Syiah Imamiah. Kitab tafsir ini menampilkan berbagai uraian yang sesuai dengan prinsip dan ajaran Syiah Imamiah. Kitab ini juga menjelaskan masalah teologi, balagah Alquran, lafal-lafalnya, dan aspek tata bahasa yang terdapat di dalamnya.

* At-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa asy-Syari'ah wa al-Manhaj disusun oleh Wahbah az-Zuhaili. Kitab ini merupakan karya mufasir mutakhir yang terdiri atas 32 jilid. Uraian kitab tafsir ini lebih komprehensif, baik dari segi akidah, syariat, maupun fikih. dia/sya/berbagai sumber

reff : http://www.ltqstidnatsir.com

Sejarah Hidup Rasulullah

Perkawinan Abdullah dengan Aminah - Abdullah wafat - Muhammad lahir disusukan oleh Keluarga Sa'd - Kisah dua malaikat - Lima tahun selama tinggal di pedalaman - Aminah wafat - Di bawah asuhan Abd'l-Muttalib - Abd'l-Muttalib wafat - Di bawah asuhan Abu Talib - Pergi ke Suria dalam usia dua belas tahun- Perang Fijar - Menggembala kambing - Ke Suria membawa dagangan Khadijah - Perkawinannya dengan Khadijah

USIA Abd'l-Muttalib sudah hampir mencapai tujuhpuluh tahun atau lebih tatkala Abraha mencoba menyerang Mekah dan menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah anaknya sudah duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan. Pilihan Abd'l-Muttalib jatuh kepada Aminah bint Wahb bin Abd Manaf bin Zuhra, - pemimpin suku Zuhra ketika itu yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat. Maka pergilah anak-beranak itu hendak mengunjungi keluarga Zuhra. Ia dengan anaknya menemui Wahb dan melamar puterinya. Sebagian penulis sejarah berpendapat, bahwa ia pergi menemui Uhyab, paman Aminah, sebab waktu itu ayahnya sudah meninggal dan dia di bawah asuhan pamannya. Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah itu, Abd'l-Muttalib juga kawin dengan Hala, puteri pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan dia.
Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah keluarga pengantin puteri. Sesudah itu mereka pindah bersama-sama ke keluarga Abd'l-Muttalib. Tak
seberapa lama kemudian Abdullahpun pergi dalam suatu usaha
perdagangan ke Suria dengan meninggalkan isteri yang dalam
keadaan hamil. Tentang ini masih terdapat beberapa keterangan
yang berbeda-beda: adakah Abdullah kawin lagi selain dengan
Aminah; adakah wanita lain yang datang menawarkan diri
kepadanya? Rasanya tak ada gunanya menyelidiki
keterangan-keterangan semacam ini. Yang pasti ialah Abdullah
adalah seorang pemuda yang tegap dan tampan. Bukan hal yang
luar biasa jika ada wanita lain yang ingin menjadi isterinya
selain Aminah. Tetapi setelah perkawinannya dengan Aminah itu
hilanglah harapan yang lain walaupun untuk sementara. Siapa
tahu, barangkali mereka masih menunggu ia pulang dari
perjalanannya ke Syam untuk menjadi isterinya di samping
Aminah.

Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal selama beberapa
bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi.
Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di
Medinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam
perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah
ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat
saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih
dulu meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan berita
sakitnya itu kepada ayahnya setelah mereka sampai di Mekah.

Begitu berita sampai kepada Abd'l-Muttalib ia mengutus Harith
- anaknya yang sulung - ke Medinah, supaya membawa kembali
bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia
mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan
pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Mekah.
Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan
pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa
hati Abd'l-Muttalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan
seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan
hidupnya. Demikian juga Abd'l-Muttalib sangat sayang kepadanya
sehingga penebusannya terhadap Sang Berhala yang demikian rupa
belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab sebelum itu.

Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor
unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan,
yaitu Umm Ayman - yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh
jadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda
kekayaan; tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan. Di
samping itu umur Abdullah yang masih dalam usia muda belia,
sudah mampu bekerja dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada
itu ia memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih
hidup itu.

Aminah sudah hamil, dan kemudian, seperti wanita lain iapun
melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abd'l
Muttalib di Ka'bah, bahwa ia melahirkan seorang anak
laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima
berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira
sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada.
Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu
lalu dibawanya ke Ka'bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini
tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal. Kemudian
dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. Kini mereka sedang
menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa'd
(Banu Sa'd), untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada
salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum
bangsawan Arab di Mekah.

Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli
berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah
(570 Masehi). Ibn Abbas mengatakan ia dilahirkan pada Tahun
Gajah itu. Yang lain berpendapat kelahirannya itu limabelas
tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan
ia dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau juga
beberapa tahun sesudah Tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga
puluh tahun, dan ada juga yang menaksir sampai tujuhpuluh
tahun.

Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya.
Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada
yang berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain berpendapat
dalam bulan Safar, sebagian lagi menyatakan dalam bulan Rajab,
sementara yang lain mengatakan dalam bulan Ramadan.

Kelainan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan.
Satu pendapat mengatakan pada malam kedua Rabiul Awal, atau
malam kedelapan, atau kesembilan. Tetapi pada umumnya
mengatakan, bahwa dia dilahirkan pada tanggal duabelas Rabiul
Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain.

Selanjutnya terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu
kelahirannya, yaitu siang atau malam, demikian juga mengenai
tempat kelahirannya di Mekah. Caussin de Perceval dalam Essai
sur l'Histoire des Arabes menyatakan, bahwa Muhammad
dilahirkan bulan Agustus 570, yakni Tahun Gajah, dan bahwa dia
dilahirkan di Mekah di rumah kakeknya Abd'l-Muttalib.

Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abd'l-Muttalib minta
disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan
mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui
bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya
mengapa ia tidak suka memakai nama nenek moyang. "Kuinginkan
dia akan menjadi orang yang Terpuji,1 bagi Tuhan di langit
dan bagi makhlukNya di bumi," jawab Abd'l Muttalib.

Aminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada
salah seorang Keluarga Sa'd yang akan menyusukan anaknya,
sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab
di Mekah. Adat demikian ini masih berlaku pada
bangsawan-bangsawan Mekah. Pada hari kedelapan sesudah
dilahirkan anak itupun dikirimkan ke pedalaman dan baru
kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh
tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkenal
dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa'd.
Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah
menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya,
Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah
yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara
susuan.

Sekalipun Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan, namun
ia tetap memelihara hubungan yang baik sekali selama hidupnya.
Setelah wanita itu meninggal pada tahun ketujuh sesudah ia
hijrah ke Medinah, untuk meneruskan hubungan baik itu ia
menanyakan tentang anaknya yang juga menjadi saudara susuan.
Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa anak itu juga sudah
meninggal sebelum ibunya.

Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa'd yang akan
menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan
mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak
yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari
sang ayah. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang
dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu
tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat
hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka
harapkan.

Akan tetapi Halimah bint Abi-Dhua'ib yang pada mulanya menolak
Muhammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat
bayi lain sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang
seorang wanita yang kurang mampu, ibu-ibu lainpun tidak
menghiraukannya. Setelah sepakat mereka akan meninggalkan
Mekah. Halimah berkata kepada Harith bin Abd'l-'Uzza suaminya:
"Tidak senang aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa
membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu
dan akan kubawa juga."

"Baiklah," jawab suaminya. "Mudah-mudahan karena itu Tuhan
akan memberi berkah kepada kita."

Halimah kemudian mengambil Muhammad dan dibawanya pergi
bersama-sama dengan teman-temannya ke pedalaman. Dia
bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat
berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun
bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.

Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh
Halimah dan diasuh oleh Syaima', puterinya. Udara sahara dan
kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali
menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan
badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih,
Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu
membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena
kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain
mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali
supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya
serangan wabah Mekah.

Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara
pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu
ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.

Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika
itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni,
bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama
anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar
pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa'd
itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada
ibu-bapanya: "Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil
oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan,
perutnya dibedah, sambil di balik-balikan."

Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan, bahwa mengenai
diri dan suaminya ia berkata: "Lalu saya pergi dengan ayahnya
ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya
pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami
tanyakan: "Kenapa kau, nak?" Dia menjawab: "Aku didatangi oleh
dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu
perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu
aku apa yang mereka cari."

Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat
ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu,
dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas
peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah Hadis Nabi sesudah
kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Ishaq
nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab
dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua
malaikat itu, melainkan - seperti cerita Halimah kepada Aminah
- ketika ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada
beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan
menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya
belakang anak itu, lalu mereka berkata:

"Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami.
Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui
keadaannya." Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari
mereka dengan membawa anak itu. Demikian juga cerita yang
dibawa oleh Tabari, tapi ini masih di ragukan; sebab dia
menyebutkan Muhammad dalam usianya itu, lalu kembali
menyebutkan bahwa hal itu terjadi tidak lama sebelum
kenabiannya dan usianya empatpuluh tahun.
Baik kaum Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin
sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan
menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua
laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu
hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya.
Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber
itu sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah-tengah
Keluarga Sa'd itu sampai mencapai usia lima tahun. Andaikata
peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun,
dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada
ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita
itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa penulis
berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga
kalinya.

Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita
tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan,
bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu
gangguan kepada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu
gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai
mengganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang
baik. Barangkali yang lainpun akan berkata: Baginya tidak
diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau
dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkannya
supaya menjalankan risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa
cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui
orang dari teks ayat yang berbunyi: "Bukankah sudah Kami
lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang
telah memberati punggungmu?" (Qur'an 94: 1-3)

Apa yang telah diisyaratkan Qur'an itu adalah dalam arti
rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan)
dan mencuci hati yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian
meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala
beban karena Risalah yang berat itu.

Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan
pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup
Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri
kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu
memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa
dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib.
Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan
penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi
yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang
dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh
Qur'an supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa
undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai
dengan ekspresi Qur'an tentang kaum Musyrik yang tidak mau
mendalami dan tidak mau mengerti juga.

Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'd sampai mencapai usia lima
tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara
sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar
mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia
mengatakan kepada teman-temannya kemudian: "Aku yang paling
fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di
tengah-tengah Keluarga Sa'd bin Bakr."

Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan
yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu
Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih
sayang dan hormat selama hidupnya itu.

Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik
sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah
kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta
Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor
kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang
paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda
penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan
bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta'if dikepung, kemudian
dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati
dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan
wanita itu.

Sesudah lima tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya.
Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang
membawanya pulang ketempat keluarganya tapi tidak
menjumpainya. Ia mendatangi Abd'l-Muttalib dan memberitahukan
bahwa Muhammad telah sesat jalan ketika berada di hulu kota
Mekah. Lalu Abd'l-Muttalibpun menyuruh orang mencarinya, yang
akhirnya dikembalikan oleh Waraqa bin Naufal, demikian
setengah orang berkata.

Kemudian Abd'l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu.
Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala
kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu -
pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah - diletakkannya
hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka'bah, dan
anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai
penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang
datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu
sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya
rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya
di belakang dari tempat mereka duduk itu.

Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika
Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Medinah untuk
diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak
Keluarga Najjar.

Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan
yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah
kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal
dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali
ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya
pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta
itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama,
kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak
ibu. Sesudah Hijrah pernah juga Nabi menceritakan kepada
sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah
dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah
yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah
bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang
dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di
tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa',2 ibunda
Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan
pula di tempat itu.

Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang
menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa
kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa
olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa
hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka
kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia
melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali
lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini
dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.

Lebih-lebih lagi kecintaan Abd'l-Muttalib kepadanya. Tetapi
sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu
bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam
Qur'anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan
nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: "Bukankah engkau
dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan
melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu
ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7)

Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak
meringankan juga sedikit, sekiranya Abd'l-Muttalib masih dapat
hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal,
dalam usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru
berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung
kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah
dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia,
sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda
jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.

Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun
sesudah itu, di bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat
perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat
perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian
sampai pamannya itupun achirnya meninggal.

Sebenarnya kematian Abd'l-Muttalib ini merupakan pukulan berat
bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada
yang seperti dia: mempunyai keteguhan hati, kewibawaan,
pandangan yang tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan
Arab semua. Dia menyediakan makanan dan minuman bagi mereka
yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk
Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak ada
lagi dari anak-anaknya itu yang akan dapat meneruskan. Yang
dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang
kaya hidupnya kikir sekali. Oleh karena itu maka Keluarga
Umaya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan
yang memang sejak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan
ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.

Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib, sekalipun dia
bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua
adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas
yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena
itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus
rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu
Talib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di
kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau
Abd'l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu
Talib.

Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti
Abd'l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan
kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad
yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang
lebih menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan
pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Muhammad baru
duabelas tahun - mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi
padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa Muhammad.
Akan tetapi Muhammad yang dengan ikhlas menyatakan akan
menemani pamannya itu, itu juga yang menghilangkan sikap
ragu-ragu dalam hati Abu Talib.

Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga
sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku
riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan
inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu
telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan
petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan,
bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan
terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan
orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan
berbuat jahat terhadap dia.

Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah itu
melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang
berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya
daerah-daerah Madyan, Wadit'l-Qura serta peninggalan
bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan telinganya yang
tajam segala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman
tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau.
Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun
yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan
membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta'if serta segala cerita
orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya
dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di
sekeliling Mekah itu. Di Syam ini juga Muhammad mengetahui
berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya,
didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi
Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya
menghadapi perang dengan Persia.

Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah
mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman
otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan ingatan
yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang
diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima
risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat
ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak
puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya
kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?

Tampaknya Abu Talib tidak banyak membawa harta dari
perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan
demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah
diperolehnya itu. Ia menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya
yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa.
Muhammad juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada.
Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang
seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di
Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke
pekan-pekan yang berdekatan dengan 'Ukaz, Majanna dan
Dhu'l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh
penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu'allaqat.3 Pendengarannya
terpesona oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta
dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka,
peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka.
Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi
dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara
tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada
kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu
dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada
paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi
tidak sepenuhnya ia merasa lega.

Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya
ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat
mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia
menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan
petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Kalau Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir
dengan pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair,
ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan pidato-pidato
dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama
bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul
senjata, ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang
Fijar. Dan Perang Fijar itulah di antaranya yang telah
menimbulkan dan ada sangkut-pautnya dengan peperangan di
kalangan kabilah-kabilah Arab. Dinamakan al-fijar4 ini karena
ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu kabilah-kabilah
seharusnya tidak boleh berperang. Pada waktu itulah
pekan-pekan dagang diadakan di 'Ukaz, yang terletak antara
Ta'if dengan Nakhla dan antara Majanna dengan Dhu'l-Majaz,
tidak jauh dari 'Arafat. Mereka di sana saling tukar menukar
perdagangan, berlumba dan berdiskusi, sesudah itu kemudian
berziarah ke tempat berhala-berhala mereka di Ka'bah. Pekan
'Ukaz adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan
Arab lainnya. Di tempat itu penyair-penyair terkemuka
membacakan sajak-sajaknya yang terbaik, di tempat itu Quss
(bin Sa'ida) berpidato dan di tempat itu pula orang-orang
Yahudi, Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing
mengemukakan pandangan dengan bebas, sebab bulan itu bulan
suci.

Akan tetapi Barradz bin Qais dari kabilah Kinana tidak lagi
menghormati bulan suci itu dengan mengambil kesempatan
membunuh 'Urwa ar-Rahhal bin 'Utba dari kabilah Hawazin.
Kejadian ini disebabkan oleh karena Nu'man bin'l-Mundhir
setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke 'Ukaz
membawa muskus, dan sebagai gantinya akan kembali dengan
membawa kulit hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba
Barradz tampil sendiri dan membawa kafilah itu ke bawah
pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga 'Urwa lalu tampil
pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.

Adapun pilihan Nu'man terhadap 'Urwa (Hawazin) ini telah
menimbulkan kejengkelan Barradz (Kinana), yang kemudian
mengikutinya dari belakang, lalu membunuhnya dan mengambil
kabilah itu. Sesudah itu kemudian Barradz memberitahukan
kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut
balas kepada Quraisy. Fihak Hawazin segera menyusul Quraisy
sebelum masuknya bulan suci. Maka terjadilah perang antara
mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan
pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin memberi peringatan
bahwa tahun depan perang akan diadakan di 'Ukaz.

Perang demikian ini berlangsung antara kedua belah pihak
selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu
perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban
manusia lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah
kelebihan korban itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian
Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang
Hawazin. Nama Barradz ini kemudian menjadi peribahasa yang
menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak memberikan kepastian
mengenai umur Muhammad pada waktu Perang Fijar itu terjadi.
Ada yang mengatakan umurnya limabelas tahun, ada juga yang
mengatakan duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena
perang tersebut berlangsung selama empat tahun. Pada tahun
permulaan ia berumur limabelas tahun dan pada tahun
berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.
Juga orang berselisih pendapat mengenai tugas yang dipegang
Muhammad dalam perang itu. Ada yang mengatakan tugasnya
mengumpulkan anak-anak panah yang datang dari pihak Hawazin
lalu di berikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan kembali
kepada pihak lawan. Yang lain lagi berpendapat, bahwa dia
sendiri yang ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan
tersebut telah berlangsung sampai empat tahun, maka kebenaran
kedua pendapat itu dapat saja diterima. Mungkin pada mulanya
ia mengumpulkan anak-anak panah itu untuk pamannya dan
kemudian dia sendiripun ikut melemparkan. Beberapa tahun
sesudah kenabiannya Rasulullah menyebutkan tentang Perang
Fijar itu dengan berkata: "Aku mengikutinya bersama dengan
paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu;
sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan."

Sesudah Perang Fijar Quraisy merasakan sekali bencana yang
menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya, yang disebabkan
oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan 'Abd'l-Muttalib wafat, dan
masing-masing pihak berkeras mau jadi yang berkuasa. Kalau
tadinya orang-orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka berebut
mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin 'Abd'l-Muttalib di rumah
Abdullah bin Jud'an diadakan pertemuan dengan mengadakan
jamuan makan, dihadiri oleh keluarga-keluarga Hasyim, Zuhra
dan Taym. Mereka sepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha
Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihak yang teraniaya
sampai orang itu tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu
yang oleh mereka disebut Hilf'l-Fudzul. Ia mengatakan, "Aku
tidak suka mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud'an
itu dengan jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak
pasti kukabulkan."

Seperti kita lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya
beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat
Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya
peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan
menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan
riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan
hiburan sepuas-puasnya

Adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini?
Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang
terbatas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua
itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu tapi
tidak mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah
cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena
tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran
Mekah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam
kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu.
Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka-pemuka Mekah
dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyutkan diri ke
dalam kesenangan demikian itu.

Akan tetapi jiwa Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat,
ingin mendengar, ingin mengetahui. Dan seolah tidak ikut
sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari
anak-anak bangsawan menyebabkan ia lebih keras lagi ingin
memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian
pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang
selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang menyebabkan
dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama
pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir
dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya
hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh
julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada
dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala
kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak,
sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin (artinya
'yang dapat dipercaya').

Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah
pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya
itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing
penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat
yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia
berkata: "Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing."
Dan katanya lagi: "Musa diutus, dia gembala kambing, Daud
diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing
keluargaku di Ajyad."

Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang
bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam
sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk
pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam
demikian itu, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua
itu. Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu
penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya
sendiri. Karena hatinya yang terang, jantungnya yang hidup, ia
melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta itu. Bukankah
juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak demikian berarti
kematian? Bukankah ia dihidupkan oleh sinar matahari,
bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya berhubungan dengan
bintang-bintang dan dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan
semesta alam yang tampak membentang di depannya, berhubungan
satu dengan yang lain dalam susunan yang sudah ditentukan,
matahari tiada seharusnya dapat mengejar bulan atau malam akan
mendahului siang. Apabila kelompok kambing yang ada di depan
Muhammad itu memintakan kesadaran dan perhatiannya supaya
jangan ada serigala yang akan menerkam domba itu, jangan
sampai - selama tugasnya di pedalaman itu - ada domba yang
sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan
alam yang begitu kuat ini?

Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala
pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari
itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas
di hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan
tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan nama
yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang
begitu adanya: Al-Amin.

Semua ini dibuktikan oleh keterangan yang diceritakannya
kemudian, bahwa ketika itu ia sedang menggembala kambing
dengan seorang kawannya. Pada suatu hari hatinya berkata,
bahwa ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal
ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia
ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda di
gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing
ternaknya itu. Tetapi sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya
tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat
itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya
datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang sama. Terdengar
olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia
duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.

Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya penarik Mekah itu
terhadap kalbu dan jiwa yang begitu padat oleh pikiran dan
renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya penarik yang
kita gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh mereka yang
martabatnya jauh di bawah Muhammad?

Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar
nikmatnya, ialah bila ia sedang berpikir atau merenung. Dan
kehidupan berpikir dan merenung serta kesenangan bekerja
sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara
hidup yang membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya. Dan
memang tidak pernah Muhammad mempedulikan hal itu. Dalam
hidupnya ia memang menjauhkan diri dari segala pengaruh
materi. Apa gunanya ia mcngejar itu padahal sudah menjadi
bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang diperlukannya dalam
hidup ini asal dia masih dapat menyambung hidupnya.

Bukankah dia juga yang pernahh berkata: "Kami adalah golongan
yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak
sampai kenyang?" Bukankah dia juga yang sudah dikenal orang
hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang
bergembira menghadapi penderitaan hidup? Cara orang mengejar
harta dengan serakah hendak memenuhi hawa nafsunya, sama
sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama hidupnya.
Kenikmatan jiwa yang paling besar, ialah merasakan adanya
keindahan alam ini dan mengajak orang merenungkannya. Suatu
kenikmatan besar, yang hanya sedikit saja dikenal orang.
Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya
yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa
mudanya adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang
mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini
dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam
kandungan, kemudian kematian ibunya, kemudian kematian
kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan harta
kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa
yang kuat. sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia
memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.

Andaikata pada waktu itu Muhammad dibiarkan saja begitu, tentu
takkan tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya itu ia akan
tetap bahagia, seperti halnya dengan gembala-gembala pemikir,
yang telah menggabungkan alam ke dalam diri mereka dan telah
pula mereka berada dalam pelukan kalbu alam.

Akan tetapi Abu Talib pamannya - seperti sudah kita sebutkan
tadi -hidup miskin dan banyak anak. Dari kemenakannya itu ia
mengharapkan akan dapat memberikan tambahan rejeki yang akan
diperoleh dari pemilik-pemilik kambing yang kambingnya
digembalakan. Suatu waktu ia mendengar berita, bahwa Khadijah
bint Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan
perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang
kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan
hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia bertambah
kaya setelah dua kali ia kawin dengan keluarga Makhzum,
sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang terkaya. Ia
menjalankan dagangannya itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid
dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy
pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu
melamar hanya karena memandang hartanya. Sungguhpun begitu
usahanya itu terus dikembangkan.

Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan
perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia
memanggil kemenakannya - yang ketika itu sudah berumur
duapuluh lima tahun.

"Anakku," kata Abu Talib, "aku bukan orang berpunya. Keadaan
makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah
mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak
setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah
kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"

"Terserah paman," jawab Muhammad.

Abu Talibpun pergi mengunjungi Khadijah:

"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Talib.
"Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta
Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."

"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak
kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan
kusukai." Demikian jawab Khadijah.

Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan menceritakan
peristiwa itu. "Ini adalah rejeki yang dilimpahkan Tuhan
kepadamu," katanya.

Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan
Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir
kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui
Wadi'l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang
dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala
umurnya baru duabelas tahun.

Perjalanan sekali ini telah menghidupkan kembali kenangannya
tentag perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah dia
lebih banyak bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala
yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya: tentang
peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di
pasar-pasar sekeliling Mekah.

Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam.
Ia bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu,
dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali
dia atau rahib-rahib lain pernah juga mengajak Muhammad
berdebat tentang agama Isa, agama yang waktu itu sudah
berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan sekta-sekta -
seperti sudah kita uraikan di atas.

Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu
benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara
perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang
dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter
yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik
kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba
waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang
dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.

Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di
Marr'-z-Zahran. Ketika itu Maisara berkata: "Muhammad,
cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan
pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."

Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Mekah.
Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila
dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman
rumahnya. ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Muhammad
bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang
perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga
mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira
dan tertarik sekali mendengarkan. Sesudah itu Maisarapun
datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa
halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini
menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah
diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.

Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah
berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia - yang sudah berusia
empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran
pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy - tertarik juga
hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan
matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal
itu kepada saudaranya yang perempuan - kata sebuah sumber,
atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya - kata sumber
lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: "Kenapa
kau tidak mau kawin?"

"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan," jawab
Muhammad.

"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta,
terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?"

"Siapa itu?"

Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: "Khadijah."

"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri
berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi
memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak
permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.

Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: "Serahkan hal
itu kepadaku," maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak lama
kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri
oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga
Khadijah guna menentukan hari perkawinan.

Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman
Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah
meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan sendirinya
telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada
tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah
memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu
perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.

Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad.
Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa,
suami-isten yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak,
dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan
anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan
ibu-bapa semasa ia masih kecil.

reff :http://media.isnet.org